Kamis, 29 Oktober 2015

CERPEN

Nekad Kepaksa
Alkisah ada seorang kaya raya sedang mengadakan pesta di rumahnya di kawasan Menteng. Kayanya orang ini nggak kira-kira, duitnya bejibun, belon rumahnya di Menteng ama di Pondok Indah, punya banyak simpanan cewek, abis itu dia juga punya helikopter & pesawat terbang. Pokoknya semuanya deh. Orangnya rada nyentrik. Kolam renangnya diisi banyak buaya. Lagi pada pesta di pinggir kolam, si doi berdiri di atas menara life guard supaya temen-temennya bisa ngeliat. Terus dia suruh semuanya tenang & berkata "Baiklah, orang pertama yg berani renang di kolam ini dari ujung ke ujung bakalan gue kasih semua duit gue." Semua pada diem. Si kaya ngeliat ke temen-tememnya dengan gemes lalu berkata "OK, orang pertama yang berani renang di kolam ini dari ujung ke ujung, gue kasih semua duit gue plus rumah gue." Tetap nggak ada juga yang bereaksi. "OK, kalau gitu semua duit gue, rumah, mobil-mobil, pesawat terbang, semua milik gue, saham, surat berharga dan semua cewek gue, pokoke semua yg gue miliki.

"SPLASH!!! Ada yang terjun! Buaya-buaya pada ngerubutin tapi dia berkelit aje kayak Tarzan. Berkelit ke sono-sini, berkelahi juge dengan buaya itu. Akhirnya nyampe juga di seberang. Si kaya turun dari life guard tower lalu berlari ke orang itu.

Kaya: "Gile lu! Hebat bener, gua nggak nyangka kalo ada yang berani melakukannya. Elu mau duitnya sekarang?"
Nekad: "Nggak! gue nggak mau duit!"
Kaya: "Elu mau rumahnya sekarang?"
Nekad: "Nggak! gue nggak mau rumahnya"
Kaya: "Elu mau mobil ama pesawatnya sekarang atau ntar?"
Nekad: "Nggak! gue juga nggak mau pesawat"
Kaya: "Elu minta saham atau surat berharga?"
Nekad: "Nggak! gue nggak mau"
Kaya: "Elu minta cewek gue?"
Nekad: "Nggak gue juge nggak mau itu"
Kaya: "Habis, elu itu maunya apa?????"
Nekad: "Gue mau tahu siapa bajingan yang dorong gue tadi!"

SUMBER: http://www.coolstuff.me/2013/01/cerpen-lucu-nekad-kepaksa.html

CERPEN

Senyummu Adalah Hidupku
Karya : Sarah Amelia
Langkahku terhenti di depan sebuah toko buku. Teringat buku yang harus aku beli, akupun memasukki toko buku itu.

“Ini dia…” katakku sambil mengambil sebuah buku yang bersampul biru, kemudian membaca isinya sebentar.

“Maaf ya… maaf…” seorang pria tiba-tiba tidak di kenal datang dan langsung memelukku tanpa alasa yang jelas.

Beberapa detik berlalu. Aku sempat bingung. Karena tidak segera melepaskan pelukannya akupun mendorongnya dengan kasar. “Apa-apaan sih lo?” katakku kasar

“Aduh… maaf banget ya… tadi aku lagi di kejar-kejar orang. Makasih ya mau bantuin aku.” Katanya kemudian tersenyum kepadakku.

“Orang stress.” Katakku kemudian meninggalkannya kemudian membawa bukuku ke kasir.

“Eh La… lo dari mana aja?” Tanya Dina menghampiriku.

“Ada orang stress, tiba-tiba meluk gue nggak jelas gitu. Katanya lagi di kejar-kejar sama orang.” Katakku kemudian menunjuk orang yang tadi memelukku.

“Demi apa? Lo di peluk sama dia? OMG… beruntung banget sih lo La, bisa di peluk sama dia.”

“Beruntung? Yang ada gue mandi kembang tujuh rupa abis ini.” Katakku ketus.

“Lo tau nggak dia siapa?” tanyanya. Aku menggeleng tanpa dosa. “Dia itu Landry. RAFAEL LANDRY TANUBRATA. Mantan vokalis band Cola float, sumpah ternyata dia keren banget.” Katanya kemudian histeris

“Cola float? Apaan tuh? Kayak nama minuman?” katakku polos.

“Cola float? Masa lo nggak tau? Itu loh, band yang judul lagunya Aku Sayang Kamu. Yang sering gue nyanyiin. Sumpah lagunya enak banget.”

“Terserah lo deh. Mau cola float kek. Mau coca cola kek. Gue nggak perduli. Balik yuk!!!” ajakku kepada sahabatku itu.

“Ah nggak seru lo… yaudah ayo balik.” Dina kemudian menggandeng tanganku dan kamipun keluar dari mall itu.

***
Hari berganti. Sekarang aku sudah mengenakan kemeja putih dan rok abu-abu selututku. Akupun bersiap untuk segera berangkat ke sekolah.

“Kamu udah bangun La?” seorang wanita yang tak lain mamaku menyapku dengan ramah. “Tadi ada orang yang nganterin bunga. Katanya buat kamu.”

“Dari siapa ma?”

“Nggak tau. Itu bunganya ada di ruang tamu.” Akupun segera mengambil kiriman bunga itu. kemudian memperhatikannya, sebuah mawar merah dan sekotak cokelat kesukaanku. Dan ada sebuah amplop berwarna biru yang berisi sebuah note. Kata-katanya sederhana, tapi menurutku itu cukup berkesan.

Cinta yang tumbuh dari sebuah perasaan yang sederhana.

***
Aku sampai di sekolah. “Pagi Lala. Sendiri aja?” seseorang mengagetkanku dari belakang.

“Eh, Ilham? Keliatannya?” katakku kepada seorang pria yang berada di belakangku yang ternyata Ilham, sahabatku.

“Sendiran. Biasanya sama Pramudina? Sohib lo?”

“Apasih? Gajelo ham. Emang lo bukan sohib gue?”

“Sejak kapan kita sohiban?” tanyanya menggoda. “Becanda-becanda. Eh ngomong-ngomong, gimana peluncuran buku kedua lo kemarin?”

“Baik. Lo kok nggak dateng sih? Jadikan gue Cuma berdua sama Dina.” Katakku sedih.

“Sorry deh. Gue ada acara, jadi nggak bisa dateng…”

“Oh yaudah. Eh ngomong-ngomong kemarin lo rekaman buat band lo ya? Apa kabarnya tuh band?”

 “Boy Band.”

“Ia deh apakatalo.”

“Baik lah. Emang kenapa?”

“Nggak. Soalnya masa ada band yang mau nerima orang kayak lo?” candakku. “Maksud gue emang nggak ada orang lain yang lebih waras untuk jadi personil band, selain lo?”

“Buktinya? Gue waras. Kalau nggak waras mana bisa gue break dance sambil nyanyi.” Katanya sambil menjulurkan lidahnya ke arahku. “Udahlah ayo kita masuk kelas! Nanti telat, diomelin Pak Effendi loh…” Ilham kemudian menarik tanganku menuju kelas.

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang ketika Ilham menarik tanganku. Oh tuhan… apa yang terjadi padakku? Kenapa rasanya jantung ini tidak bisa berhenti berdegup kencang. Apakah aku suka sama Ilham? Nggak mungkin. Aku, dia, dan Pramudina sudah bersahabat sejak kecil. Masa aku mengingkari persahabatan demi cinta sesaat?

***
“Bisa gila gue lama-lama….” Jeritku ketika aku melihat sebuah karangan bunga lagi di meja belajarku.

“Kenapa lo La?” Tanya Dina yang sedang bermain di rumahku. Tepatnya sekarang dia berada di kamarku.

“Itu!” katakku menunjuk sebuah karangan bunga yang di letakkan di meja belajarku.

“So? Apa yang salah? Bunganya bagus.” Kata Dina enteng, sambil mengambil mawar merah dan sekotak cokelat yang ada di meja belajarku.

“Bagus sih bagus. Tapi ini terror namanya. Udah hampir satu bulan tiap hari gue bisa dapet 3 kiriman bunga sama cokelat kayak gitu. Emangnya rumah gue taman bunga apa? Sehari di kirimin 3 karangan bunga, udah kayak minum obat aja.” Katakku emosi

“Terus?”

“Nggak ada nama pengirimnya pula. Ditambah note-note itu!!!” katakku sambil menunjuk beberapa buah amplop yang berada di samping kotak cokelat. “Bisa gila gue lama-lama!!” jeritku lagi.

“Melihat dirimu tersenyum kepadakku, bagaikan melihat seluruh dunia tersenyum kepadakku. Wah… wah… kata-katannya bagus. Dapet darimana lo, La?”

“Dapet dari mana? Ya dari semua kiriman nggak jelas itu lah….”

“Itu berarti lo punya pengagum rahasia.”

“Apa? Pengagum rahasia gue? Darimana?”

“Ya wajar lah lo dapet karangan bunga sama note kayak gitu kayak gitu tiap hari. Lo kan novelis? Dan buku lo juga cukup terkenal. Jadi wajar lah kalau ada yang ngefans sama lo samapai kayak gitu. Kalau gue tuh baru nggak wajar. Gue siapa? Nggak ada yang kenal. Paling satpam depan sekolah yang kenal sama gue.”

“Huh…” akupun hanya bisa menghela nafas. Sesaat ku menatap mata sahabat baikku itu. Mungkin Dina benar. Tapi kenapa dia melakukan hal itu kepadaku? Kenapa dia tidak mencantumkan namanya di setiap kirimannya? Apakah dia benar-benar pengagum rahasiaku? Atau dia orang yang senang meneror kehidupan orang lain.

***
“Hai La… Din.” Seseorang menepuk pundakku.

“Eh lo Ham….” Sapaku kepada Ilham.

“Gue cariin lo berdua di kelas nggak ada, taunya ada di kantin.”

“Tumben lo nyariin kita? Kenapa nih… pasti ada udang di balik batu?” Tanya Dina. Memang benar jika Ilham mencari aku dan Dina pasti ada sesuatu yang dia inginkan.

“Tau aja…” kata Ilham sambil menunjukkan senyum beribu arti.

“Oke. To the point aja. Lo maunya apa? Kalo duit gue nggak punya, tanggung bulan nih…” kata Dina.

“Nggak kok. Gue Cuma mau ngajak lo ke peluncuran Single boy band gue. Mau ya….” Ilham memohon.

“Kapan?” Tanyaku.

“Hari minggu. Please dateng ya….” Katanya memohon.

“Oke deh Ham. Gue usahain.” katakku.

“Kok usahaiin sih… lo berdua harus dateng, nggak mau tau.”

“Ia deh… gue sama Lala dateng. Kita balik ke kelas dulu ya. Udah bel tuh.” Kata Dina. Kemudian bel sekolah berdering dua kali, itu tandanya jam istirahat sudah habis. Dan aku sudah harus kembali ke kelas.

***
Sesuai janjiku yang kemarin, aku dan Pramudina datang ke acara peluncuran single terbarunya Ilham. Di sana rencananya Ilham akan mengenalkanku pada personel Boy bandnya.

“Hei!!!” seseorang memanggil kami dari kejauhan. Dan aku tahu dia pasti Ilham. Kemudian dia menghampiri kami. “Gue kira kalian nggak datang.”

“Eh Ham… Gue kan udah janji kemarin. Janji kan harus di tepati.” Katakku.

“Yaudah ayo masuk. Nanti gue kenalin sama teman-teman gue.” Katanya mengajakku masuk ke dalam.

Di dalam aku melihat enam orang lainnya. “Guys, ini teman-teman gue.” Kata Ilham kepada teman-temannya. “Ini namanya Morgan, Kakak gue Reza, Dicky, Bisma, Rangga, dan yang di tuakan Rafael.” Katanya menjelaskan satu per satu.

“Elo…” katakku begitu melihat seorang yang seakan tidak asing.

Dia kemudian menatapku dengan tatapan bingung. Seakan tidak mengenaliku. Detik kemudian raut wajahnya tiba-tiba berubah. “Kamu Lala , novelis terkenal itu kan?” tanyanya.

“Elo bukannya yang waktu itu meluk gue di mall kan?” katakku.

“Kaaakkk Landry…..” Tiba-tiba Dina langsung memeluk orang itu.

“Lo udah kenal dia?” Tanya Ilham kepadakku begitu melihat ekspressi wajahku melihat orang itu.

“Belum. Tapi gue pernah ketemu dia di toko buku. dan nggak tau kenapa, tau-tau dia meluk gue. Katanya lagi dikejar-kejar orang.”

“Haha… ada-ada aja. Tapi lo tau nggak, sebenarnya Rafael itu ngefans banget sama lo?”

“Gue? Kok bisa?”

“Dia itu hobi banget baca buku. Apalagi kayak novel yang lo buat.” Kata Ilham menjelaskan semuanya.

“Masa sih, novel gue bisa sesukses itu?” kataku tak percaya.

“Kelihatnnya?” Ilham menatap matakku, benar-benar lekat. Tidak seperti tatapannya yang biasa. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Rasannya ada perasaan lain yang menyelimuti hatiku. Apakah aku jatuh cinta kepadanya?

Bangun Lala , Ilham itu sahabat lo. Nggak mungkinkan lo suka sama dia. Mau lo apain persahabatan lo, kalau lo suka sama dia. Inget dong, Dina juga suka sama Ilham. Jangan nyoba-nyoba ngancurin persahabatan yang udah ada selama bertahun-tahun ini demi cinta sesaat.

***
Tok… tok
Terdengar pintu rumahku di ketuk. Hari ini mamaku pergi, jadi aku hanya sendirian di rumah. “Sebentar…” teriakku dari dalam.

“Elo?” katakku terkejut dengan mulut yang mengangga membentuk huruf O, ketika melihat siapa yang berada di balik pintu depan rumahku.

“Boleh masuk?” katannya, iapun tersenyum manis kepadakku.

“Silahkan.” Katakku ragu-ragu, kemudian membukakan pintu untuknya. Aku memersilahkannya duduk di ruang tamu rumahku. “Lo Rafael kan? Temennya Ilham? Dan yang waktu itu ada di toko buku?”

“Ia. Sorry ganggu. Dan gue juga mau minta maaf soal yang di toko buku.” katannya menjawab satu per satu pertanyaan yang aku lontarkan secara beruntun. “Oh iya, gue juga mau minta maaf. Gara-gara gue lo ngerasa di terror selama satu bulan ini. Sorry ya?” katannya lagi

“Maksud lo?”

“Jadi gini…” katanya kemudian mengeluarkan sebuah mawar merah dari balik punggungnya. “Gue yang ngirim ini kerumah lo selama sebulan ini. Sorry kalau lo ngerasa ke terror.”

Aku menatapnya bingung. Masih tidak mengerti. “Jadi maksud lo? Lo yang udah ngirim semua bunga itu ke gue?”

“Yup… bisa dibilang begitu.”

“Sama cokelat dan note itu?” katakku lagi.

“Cokelat? Gue nggak nggak pernah ngirim cokelat, apalagi note.”

“Jadi yang ngirim cokelat sama note itu bukan lo?”

Rafael menampilkan tatapan bingungnya ke arahku. Tiba-tiba hand phone ku berbunyi. Sebuah pesan singkat, dari Ilham.

LA, LO DIMANA? CEPET KERUMAH SAKIT, PENYAKITNYA DINA KAMBUH LAGI.
Pikiranku langsung melayang begitu membaca SMS dari Ilham. Penyakitnya Dina kambuh lagi? Kok bisa? Pasti ada sesuatu yang bikin dia kaget, jadinya penyakitnya kambuh lagi.

“Kamu mau kemana?” tiba-tiba ada yang menarik tanganku. Aku baru ingat kalau sedang ada tamu di rumahku.

“Dina, sahabat gue. Penyakit jantungnya kambuh lagi. Sekarang dia ada di rumah sakit. Lo mau ikut?” Rafael menganggukkan kepalanya, dan saat itu juga aku dan dia menuju rumah sakit.

***
“Kok bisa penyakit jantungnya Dina kambuh? Emangnya kenapa?” tanyaku kepada Ilham yang sedang berada di ruang tunggu.

“Jadi begini….”

“Ham, akhir-akhir ini kok sekarang lo jadi sering banget beli cokelat sih? Setahu gue lo nggak suka cokelat.” Tanya Reza kakanya Ilham

“Emang kenapa? Mau tau aja. Suka-suka gue dong….”

“Lo kan adek gue. Jadi, apapun yang lo lakukan gue harus tau. Termasuk sifat lo yang tiba-tiba berubah gini.”

“Jadi sebenarnya…” Ilham diam sejenak. “Gue ngirim ini semua buat Lala. Sebenarnya gue udah suka sama dia dari dulu. Tapi, nggak pernah gue ungkapin. Gue takut di tolak sama dia kak.”

Tanpa di sengaja, Dina mendengar percakapan Ilham dengan Kakaknya. Tiba-tiba, nafasnya langsung tidak teratur, dan seketika itu juga dia pingsan.

“Jadi… lo suka sama gue?” Ilham mengangguk. “Lo juga yang ngirimin cokelat ke rumah gue?” Ia kembali mengangguk. “Dan Dina tau.” Ilham kembali mengangguk. “Ya ampun, Ham… lo tau nggak? Dina itu suka sama lo dari dulu. Dari pertama kali kita sahabatan. Dia bilang dia naksir berat sama lo. Tapi lo nya malah kayak gitu. Gimana nggak penyakit jantungnya kumat lagi?”

“Sorry, La… gue nggak tau.” Ilham terlihat menyesal.

“Udahlah, lo nggak usah minta maaf kayak gitu. Tapi, thanks yang buat semua cokelatnya.” Aku tersenyum kepadanya Ilham pun tersenyum kepadakku. Senyumnya itu benar-benar membuat hatiku cenat-cenut. Jadi inget lirik lagunya SM*SH, kenapa hatiku cenat-cenut tiap ada kamu. Ahahah…
Tidak lama kemudian dokter keluar dari dalam kamarnya Dina. “Siapa yang di sini namanya Ilham sama Lala?”

“Kami pak…” aku dan Ilham berdiri secara bersamaan. “Saudari Dina ingin bertemu dengan kalian. Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kalian.”

“Maksud dokter?” tanyaku.

“Kondisi saudari Dina sudah tidak dapat di tolong lagi. Penyakit jantungnya sudah tidak bisa di tolong. Mungkin hidupnya hanya tinggal sebentar lagi. Dan tadi dia bilang ingin bertemu dengan kalian. Mungkin ini akan jadi pertemuan terakhir kalian dengannya.” Kata dokter itu.
Tubuhku lemas mendengarnya. Rasanya kaki ini membeku, tidak dapat bergerak. Tapi Ilham menggenggam tanganku, kemudian menatapku dengan tatapan yang tidak biasa. Bagaikan api yang benyambar sebongkahan es batu kakiku yang tadi membaku bagaikan es batu yang baru saja mencair.

“Ayo kita selesaikan ini semua.” Katanya, kami berdua pun masuk ke dalam ruangan UGD tempat Dina di rawat.

“Dina…” kata kami bersamaan, begitu melihat kondisi Dina yang terbaring sangat lemas dengan berbagai alat rumah sakit menempel di badannya.

“Lala, Ilham.” Katanya lemas, sambil mencoba tersenyum kepada kami.

“Din, sorry ya… gara-gara gue, lo jadi… jadi… ya… jadi begini.” Kata Ilham, memang kata-katanya terkadang suka nggak jelas apa maksudnya.

“Gue juga minta maaf ya...” katakku kepada Dina

“Gue yang harusnya minta maaf, nggak seharusnya gue jadi jarak diantara kalian berdua. Gue bagaikan kutu yang ada di rambut tau.”

“Maksud lo apa din? Ada juga gue yang minta maaf sama lo, bukan lo yang minta maaf sama kita.”

“Gue tau…” katanya samba tersenyum kemudian menggenggam tanganku, dan menyatukannya dengan tangannya Ilham. “Gue tau, lo suka sama Ilham kan, La? Dan Ham, lo suka sama Lala kan? Jadi kenapa kalian nggak jadian aja.”

“Tapi kan…” aku melepaskan genggaman tanganku dengan Ilham.

“Anggep aja gue nggak ada. Sebentar lagi gue juga mati kok. Jadi kalian bisa pacaran dengan tenang. Tanpa ada lagi kutu di rambut kalian. Hehe…” katanya sambil sedikit bergurau, kemdian kembali menyatukan tanganku dengan tangannya Ilham.

Sesaat aku menggengam tangannya Ilham. Benar-benar hangat, rasanya nyaman dan tentaram di hati. Tapi kenapa tiba-tiba tangannya berubah menjadi dingin, dan beku. Bagaikan tidak ada setetespun darah yang mengalir di tubuhnya. Apa jangan-jangan…

Brak….
Nitt…..
Aku terkejut. Ketika melihat Ilham sudah terkapar di lantai, dengan wajah yang pucat dau sudah tidak bernafas lagi. Ditambah lagi alat pendetkesi detak jantung yang terpasang di tubuh Dina juga membentuk sebuah garis lurus.

Aku tertunduk menyesal. Aku benar-benar telah mengorbankan persahabatan kami demi cinta sesaat. Kini, aku benar-benar kehilangan sahabat-sahabat terbaikku. Dan juga semua persahabatan yang telah kami jalin yang benar-benar indah.
Tamat
SUMBER: http://www.coolstuff.me/2013/01/cerpen-persahabatan-senyummu-adalah.html

CERPEN

Kiamat Memang Sudah Dekat
Cerpen Dewi Lestari

Kiamat bagi sebagian orang adalah peristiwa magis cenderung komikal, melibatkan naga berkepala tujuh atau jembatan dari rambut dibelah tujuh. Peristiwa ini merupakan intervensi pihak eksternal, yakni Tuhan, yang akan datang menghakimi manusia di hari yang tak terduga. Lalu, jika tiba peristiwa alam yang meluluhlantakkan sebagian besar Bumi sebelah utara, melenyapkan sebagian besar Eropa, menihilkan kehidupan di Rusia, menyusutkan populasi AS hingga separuh, merusak berat Australia, Jepang, dan menenggelamkan pesisir pantai dunia hingga enam meter, menciutkan populasi Bumi sekurangnya duapuluh persen, lalu membiarkan sisanya dicengkeram iklim ekstrem dan kekacauan global, akankah ini cukup untuk sebuah definisi hari kiamat? Saya terusik ketika membaca buku Graham Hancock "Fingerprints of the Gods". Dengan buktibukti yang ia kompilasi dari peradaban kuno Aztec, Maya, Hopi, dan Mesir, Hancock menemukan jejak peradaban yang kecanggihannya melebihi peradaban modern hari ini, tapi hilang sekitar 10,000 tahun SM oleh sebuah bencana katastrofik yang mengempaskan ras manusia kembali ke Zaman Batu. Bukti geologis pun mendukung bahwa Bumi telah beberapa kali mengalami climate shift.

Suku Maya dikenal sangat obsesif terhadap hari kiamat. Mereka percaya lima siklus kehidupan (atau 'matahari') telah terjadi. Dan sistem canggih kalendar mereka (Hancock meyakininya sebagai warisan dan bukan temuan) menghasilkan perhitungan bahwa matahari ke-5 (Tonatiuh), yakni zaman kita sekarang, berlangsung 5125 tahun dan berakhir pada tanggal 23 Desember 2012 AD. Sementara itu, peradaban Mesir Kuno menghitung siklus axial Bumi terhadap kedua belas rasi bintang. Siklus yang totalnya 25,920 tahun ini bergeser teratur, masing-masing 2160 tahun untuk tiap rasi. Posisi kita sekarang, rasi Pisces, telah menuju penghabisan, bertransisi ke Aquarius dengan pergolakan dahsyat. Dengan pendekatan yang lebih esoterik, Gregg Braden dalam bukunya "Awakening to Zero Point" meninjau fenomena polar shifting, yakni bertukarnya Kutub Utara dan Kutub Selatan yang ditandai oleh melemahnya intensitas medan magnet Bumi tercatat sudah turun sebanyak tigapulu delapan persen dibandingkan 2000 tahun lalu dan dipercaya akan sampai ke titik nol sekitar tahun 2030 AD. Fenomena alam ini sudah 14 kali terjadi dalam kurun waktu 4,5 juta tahun. Di luar dari kontroversi saintifik soal teori Hancock dan Braden, sukar untuk disangkal bahwa Bumi kita memang tak lagi sama. Tahun 1998 tercatat sebagai salah satu puncak perilaku alam yang luar biasa. El Nino, disusul oleh La Nina, lalu Tibet dan Afrika Selatan masing-masing mengalami musim dingin dan banjir terburuk dalam limapuluh tahun terakhir. Memasuki tahun 2005, tsunami memporak-porandakan Asia, lalu Katrina menghantam Amerika Serikat. Entah apa lagi yang akan kita hadapi. Namun pemahaman kita merangkak lamban seperti siput dibandingkan alam yang bagai kuda mengamuk. Isu pemanasan global membutuhkan satu dekade lebih untuk diakui para skeptis dan birokrat. Di Indonesia, sumber energi alternatif baru ramai dibahas setelah harga BBM melonjak, setelah bangsa ini terlanjur ketergantungan minyak. Isu pengolahan sampah dapur hanya sampai taraf bisik-bisik, itu pun setelah gunung sampah longsor dan memakan korban. Selain upaya kalangan industri yang dirugikan oleh turunnya konsumsi energi fosil, lambannya respons kita juga disebabkan perkembangan sains ke pecahan-pecahan spesialiasi hingga fenomena yang tersebar acak jarang diintegrasikan menjadi satu gambaran utuh, dan tanpa sebuah model analisa yang sanggup menunjuk satu tanggal pasti, bencana katastrofik ini hanya menjadi wacana spekulatif. Sekarang ini bisa dibilang kita dibanjiri data dan gejala tanpa sebuah kerangka diagnosa.

Pengetahuan kita tentang akhir dunia pun stagnan dalam kerangka mitos biblikal yang sulit dikorelasikan dengan efek panjang kebakaran hutan atau eksploitasi alam, hingga lazimlah jika orang beribadah jungkir-balik demi mengantasipasi hari penghakiman tetapi terus membuang sampahnya sembarangan. Untuk itu dibutuhkan pemahaman akan bahaya dari pemanasan global, dan tindakan nyata untuk meresponsnya dengan urgensi skala hari kiamat. Ada tidaknya hubungan knalpot mobil kita dengan cairnya es di kutub, bukankah kualitas udara yang baik berefek positif bagi semua? Lupakan plang 'Sayangilah Lingkungan'. Kita telah sampai pada era tindakan nyata. Banyak hal kecil yang bisa kita lakukan dari rumah tanpa perlu menunggu siapa-siapa. Perubahan gaya hidup adalah tabungan waktu kita, demi peradaban, demi yang kita cinta. Angkot kita satu dan sama: Bumi. Tarif yang kita bayar juga sama, mau kiamat jauh atau dekat. Tidak ada angkot lain yang menampung kita jika yang satu ini mogok. Penumpang yang baik akan memelihara dan membantu kendaraan satu-satunya ini. Sekuat tenaga.
 
sumber: http://www.lokerseni.web.id/2011/07/cerpen-kiamat-memang-sudah-dekat-karya.html

CERPEN

Cinta Tak Bertuan
Cerpen Dewi Lestari

Sepanjang hidup, kita seolah tak berhenti berusaha menaklukkan cinta. Cinta harus satu, cinta tak boleh dua, cinta maksimal empat, dan seterusnya. Jika cinta matematis, pada angka berapakah ia pas dan pada angka berapakah ia bablas? Dan kita tak putus merumuskan cinta, padahal mungkin saja cinta yang merumuskan kita semua. Infinit merangkul yang finit. Hidup berpasangan katanya sesuai dengan alam, seperti buaya yang hidup monogami tapi ironisnya malah menjadi ikon ketidaksetiaan.

Namun terkadang kita melihat seekor jantan mengasuh sekian banyak betina sekaligus, berparade seperti rombongan sirkus. Dan itu pun ada di alam. Lalu ke mana manusia harus bercermin? Sebagaimana semua terpecah menjadi dua kutub dalam alam dualitas ini, terpecahlah mereka yang percaya cinta multipel pastilah sakit dan khianat dengan mereka yang percaya cinta bisa dibagi selama bijak dan bajik. Yang satu bicara hukum publik dan nurani, yang satu bicara hukum agama dan kisah hidup orang besar. Yang satu mengusung komisi anti itu-ini, yang satu menghadiahi piala poligami.

Merupakan tantangan setiap kita untuk meniti tali keseimbangan antara intuisi individu dan konsensus sosial. Sukar bagi kita untuk menentukan dasar neraca yang mensponsori segala pertimbangan kita: apakah ini urusan salah dan benar, atau sebetulnya cocok dan tak cocok? Jika urusannya yang pertama, selamanya kita terjebak dalam debat kusir karena setiap orang akan merasa yang paling benar. Jika urusannya yang kedua, masalah akan lebih cepat selesai.

Kecocokan saya bukan berarti kecocokan Anda, dan sebaliknya. Namun seperti yang kita amati dan alami, lebih sering kita memilih yang pertama agar berputar dalam debat yang tak kunjung selesai. Semalam, saya menerima sms massal yang mengatasnamakan ibu-ibu seluruh Indonesia yang mengungkapkan kekecewaannya pada seorang tokoh yang berpoligami. Pada malam yang sama, sahabat saya menelepon dan kami mengobrolkan konsep poliamori (hubungan cinta lebih dari satu). Alhasil, saya terbawa untuk merenungi beberapa hal sekaligus.

Pertama, orang yang kita kenal sebatas persona memang hanya kita miliki personanya saja. Persona adalah lapisan informasi paling rapuh, pengenalan paling dangkal, dan oleh karena itu paling cepat musnah. Orang yang tidak kita kenal paling gampang untuk dijustifikasi ketimbang orang yang kita kenal dekat.

Kedua, apakah monogami-poligami dan monoamori-poliamori ini adalah sekat-sekat tegas yang menentangkan nurani versus ego dan 'setia' versus 'buaya'? Mungkinkah dikotomi itu sesungguhnya proses cair yang senantiasa berubah sesuai tahapan yang dijalani seseorang, ketimbang karakteristik baku yang harus dipilih atau distigmakan sekali seumur hidup? Sungguh tidak mudah menjadi seseorang yang personanya diklaim sebagai milik umat banyak. Persona seperti secabik tisu yang dengan mudah dienyahkan, diganti dengan tisu baru lainnya yang dianggap lebih bagus dan benar. Banyak dari kita bermimpi dan berjuang mati-matian agar secabik diri kita dimiliki banyak orang.

Hidup demikian memang sepintas menyenangkan dan menguntungkan, meski konsekuensinya titian tali yang kita jalani semakin tipis. Ilmu keseimbangan kita harus terus diperdalam. Tali itu harus dijalani ekstra hati-hati. Tidak mudah juga menjadi seseorang yang sangat teguh berpegang pada persona orang lain, pada mereka yang dianggap tokoh, teladan, panutan. Status selebriti bisa ada karena persona yang dipabrikasi massal lewat media lalu 'selebaran'-nya menjumpai kita, dan kita pungut. Kita mengoleksi persona mereka seperti pemungut selebaran. Terkadang kita lupa, pengenalan dan pemahaman kita hanya sebatas iklan yang tertera. Oleh karenanya justifikasi yang kita lakukan seringnya bagai memecah air dengan batu; sementara dan percuma saja. Tak terasa efeknya bagi hidup kita, tak juga bagi hidup yang bersangkutan.

Kita yang kecewa barangkali bukan karena cinta telah diduakan. Cinta tak bertuan. Kitalah abdiabdi cinta, mengalir dalam arusnya. Persepsi kitalah yang telah diduakan. Lalu kita merasa sakit, kita merasa dikhianati. Namun tengoklah apa yang sungguh-sungguh kita pegang selama ini. Perlukah kita ikut berteriak jika yang kita punya hanyalah selebarannya saja, bukan barangnya? Barangkali ini momen tepat untuk mengevaluasi aneka selebaran yang telah kita kumpulkan dan kita percayai mati-matian. Betapa seringnya kita hanyut dalam kecewa, padahal persepsi kitalah yang dikecewakan. Betapa seringnya kita menyalahkan pihak lain, padahal ketakberdayaan kita sendirilah yang ingin kita salahkan. Apapun persepsi kita atas cinta, tak ada salahnya bersiap untuk senantiasa berubah. Jika hidup ini cair maka wadah hanyalah cara kita untuk memahami yang tak terpahami. Banyak cara untuk mewadahi air, finit mencoba merangkul infinit, tapi wadah bukan segalanya. Pelajaran yang dikandungnyalah yang tak berbatas dan selamanya tak bertuan, yang satu saat menghanyutkan dan melumerkan carik-carik selebaran yang kita puja. Siap tak siap, rela tak rela.
 
SUMBER: http://www.lokerseni.web.id/2011/07/cerpen-cinta-tak-bertuan-karya-dewi.html

CERPEN

KARUNIA TIDAK TERKIRA
Karya Alif Jazmin

Entah sejak kapan aku merasakan kedewasaan, di usia yang ke sembilan belas tahun ini, banyak rasa yang mulai muncul, terutama kagum kepada lawan jenis, sejak dulu aku mimang senang kepada orang yang berpenampilan sopan dan pasti juga ganteng, namun wajah yang selalu menghantui setiap saat baru aku rasakan sejak bertemu dengannya.

Yah dia yang sejak kecil hanya aku anggap sebagai kakak, kini selalu muncul dalam setiap doaku. Doa lebih dari sebatas kakak. Namun apakah mungkin….?
Sejak orang tuanya berpisah dia memutuskan untuk tinggal bersama sang Ibu yang merupakan cucu pengasuh pesantren, dia keturunan Asli Kyai pesantren yang pasti juga punya tanggung jawab terhadap pesantrennya. Ibunya menikah dengan orang biasa yang rumahnya berada di selatan rumahku.
Waktu kecil aku sering bertemu dengannya, ketika dia bermain kerumah Bapaknya dan aku bermain dengan sepupunya. Bahkan sering bergendong di punggungnya. Jika ingat masa-masa itu ingin rasanya terulang sekarang. Namun rasanya tidak mungkin. Dia cucu seorang Kyai besar sedangkan aku hanya Anak dari keluarga biasa.
Ketika aku sudah mulai mengetahui tentang perbedaan rasa, dia malah melanjutkan studi ke luar pulau, sehingga membuat kami tidak pernah bertemu lagi dan aku juga tidak pernah memikirkannya. Bahkan ketika dia kembali dan melanjutkan studi di desa sebelah, aku malah melanjutkan studi kepondok pesantren.

Acara pemakaman Paman tahun kemarin dia datang.
“Sudah besar sekarang kau An….sudah jadi cewek cantik, pasti dah banyak yang naksir”
Entah kenapa sapaan yang datar itu membuat sensasi luar biasa yang membuatku tidak bisa tidur.
Setiap aku pulang dari pondok yang aku harapkan bisa bertemu dengannya, namun harapan itu hanya membuatku kecewa, menurut Nia sepupunya yang juga mondok sekamar denganku, Kak Zaen sekarang penuh dengan kesibukan mengajar di empat lembaga swasta. membuatku tambah kagum pada orang murah senyum itu.

Pernah suatu ketika aku pulang karena ada Acara selamatan keluarga, dan aku diperintah ibu untuk mengantarkan Makanan kerumah Bapak Kak Zaen, dengan sigap aku melaksanakannya, ingin menunjukkan sifat baikku pada keluarganya, ternyata ku lihat Kak Zaen ada di sana bermain dengan Adik tirinya yang masih kecil. membuatku tergagap dan kembali pulang. Entah kenapa denganku, aku yang berharap ketemu dengannya, ketika kesempatan itu ada, malah aku malu untuk menemuinya, sejak itu aku tau bahwa aku jatuh cinta padanya, namun tidak mungkin kalau aku yang mengejarnya, aku kan cewek…malu lagi, nggak pantas. Jadinya aku hanya bisa berdoa kepada tuhan.

Entah kenapa aku masih mempunyai harapan besar padanya, bahkan ketika ada yang melamar dengan halus aku tolak dengan alasan ingin menyelesaikan pendidikan, padahal sesungguhnya ada seseorang yang kini aku harapkan, selama Kak Zaen masih tidak menjatuhkan pilihan hidupnya, aku pasti akan menunggu takdir itu, walaupun sangat berat untuk mungkin.
Minggu depan aku diminta pulang untuk menghadiri acara Pernikahan saudara Ibu yang mimang tinggal di rumah, dan pada waktu itu Kak Zaen pasti juga datang, karena Paman yang mimang seumuran dengannya adalah teman karib Kak Zaen. Entah apa yang harus aku perbuat ketika bertemu dengannya.
Yang jelas, karena memikirkan hal itu, aku malah tidak bisa tidur dan meluapkan perasaan ini di dalam buku.

Anna meletakkan Ballpoin di atas agenda dan menerawang membayangkan seraut wajah yang begitu sulit untuk dia rangkai, karena sudah lama tidak bertemu.
“masih belum tidur Mbak….?” Sapa Nia sepepu Zaen, membuat Anna terkejut dan cepat-cepat menutup agenda
“oh ini…lagi mengerjakan tugas, kau mau kemana tengah malam gini…?”
“sholat tahajjut…” jawab Nia sambil merapikan rambutnya yang ikal terawat
“bareng aja kalau mau ke kamar mandi….” Anna juga bangkit dan mengikuti Nia ke kamar mandi.
00000000000000000

Pesta perkawinan yang cukup sederhana namun meriah, semua panitia acara bernuansa Hijau……, dari penyaji hidangan sampai penerima tamu meggunakan pakaian yang bercorak hijau, Anna diminta untuk menjadi penerima tamu Putri sehingga dia juga harus berpenampian cantik, dan dia juga ingin kelihatan menawan bukan hanya karena ini adalah pesta keluarganya namun dia punya harapan lebih, yaitu dia terlihat menawan di mata seseorang yang sejak tadi ditunggunya.

Namun hingga tamu sudah banyak yang datang dia tidak melihat sosok yang membuatnya berdebar-debar . Apa mungkin dia tidak di undang…atau mimang terlalu sibuk sehingga tidak bisa datang ke acara besar temannya…fikiran Anna pun diliputi kekhawatiran. Walau acara ini meriah namun tanpa kehadirannya akan membuat tidak bergairah…..
“kak Zaen masih belum datang Ma….?” Tanya Anna memberanikan diri pada mamanya yang juga bertugas sebagai penerima tamu.
“kenapa kau Tanya Zaen…..?” Tanya mamanya heran, membuat Anna terkejut dan pias
“ah enggak…..Kak Zaen kan sahabat karib Om Arman masak tidak mau datang ?”
“kau ini….pasti matanya jelalatan ke tempat tamu putra, jangan malu-maluin…” tegur sang Mama membuat Anna malu sendiri, dia memalingkan wajah takut sang Mama melihat wajahnya yang merona.
“Zaen diminta menjadi Fotografer, jadi dia ikut rombongan manten” jawab sang Mama, membuat jiwanya melambung…namun semakin bergetar, seakan suara bising sound system yang menghentak tak membuatnya terganggu untuk menajamkan pendengaran, mengharap ada suara rombongan mobil yang datang.
Tiba-tiba papanya datang kemija penerima tamu
“siap-siap…rombongan akan tiba lima menit lagi” bisiknya membuat hati Anna semakin bergetar. Rombongan Pengantin berangkat dari rumah mempelai Wanita di kota sebelah, karena akad dilakukan di sana.
Sayup-sayup didengarnya bunyi kendaraan dan beberapa panitia lalu-lalang mempersiapkan jalan, Mamanya juga berhambur ingin menyambut rombongan Itu, sedangkan Anna masih mematung di tempat semula, walau matanya telak menatap kearah rombongan itu. Hatinya semakin bergetar.
Rombongan Manten masuk ke halaman, seluruh keluarga berhambur menyambut, terlihat kedua mempelai berjalan beriring tersipu malu, namun tampak penuh kebahagiaan, namun Anna hanya sekilas melihat keindahan mereka, dia malah bingung mencari sesosok wajah yang telah ditunggunya sejak tadi, namun dia belum bisa menemukan sosok itu diantara kerumunan orang yang menyambut manten. Katanya dia menjadi fotografer, tidak mungkin dia melewaktan mumen itu.

Anna menghembuskan nafas kecewa setelah melihat Yugik sepupunya yang kalang-kabut membidikkan kamera.
“mujur ada kamu….!!” Sebuah suara seakan tertuju padanya. Diapun menoleh kesamping tubuhnya…ASTAGA….. wajah Anna pias seketika setelah mengetahui siapa yang sekarang berdiri disampingnya.
“eh Kak Zaen… Buat Anna terkejut saja…”
“sory…. Sebegitu seriusnya kau melihat mereka… pengen juga ya…!!” goda Zaen membuat Anna merona, dalam hati dia menjawab “pengen sih… asal ama kamu”
“ada apa Kak…..???” Anna mengalihkan pembicaraan untuk menghindar dari godaan Zaen yang membuatnya tambah bergetar
“aku diminta Arman jadi fotongrafer acara ini, terlalu banyak momen yang harus diambil, jadi aku bawa dua Tustel Digital dan Handycam, namun aku nggak leluasa untuk masuk kesana kemari, maka aku coba minta bantuan keluarga aslinya saja. Yugik telah aku minta untuk bagian putra. Maka aku minta kamu untuk bantu aku mengabadiakn momen di bagian putri dan dalam rumah, aku pegang Handycam…Gimana”
“aku tidak tau cara menggenakan kamera Kak.” Jawab Anna malu, sambil melihat kamera Digital dengan tambahan fasilitas Zoom yang besar, pasti harganya mahal.
“caranya gini….” Zaen menerangkan cara kerja kamera tersebut, sehingga dengan terpaksa tubuh mereka merapat, jantung Anna semakin hebat berdetak, namun dia berusaha tenang. Sadar dalam posisi yang sangat bagus. Ingin rasanya dia minta Yugik untuk mengabadikan momen yang sangat besar bagi Anna.
“gimana… cukup mudah kan…?”
“lagi kak…kurang faham” pinta Anna, karena sejak tadi fikirannya entah kemana, namun sekarang dia dengan seksama mendengarkan semua penjelasan Zaen.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kilatan cahaya, merekapun mendongak kearah cahanya itu. Yugik nyengir sambil menurunkan kamera, membuat Anna semakin terkejut, ternyata suara hatinya tadi jadi kenyataan. Tuhan memang maha tau
“apa-apaan kau Gik…” bentak Zaen
“katanya segala momen harus diabadiakan” jawab yugik nyengir
“sudah faham kan…” Tanya Zaen pada Anna, dia hanya mengangguk dan Tustel itupun diberikan padanya.
“Yugik….. kau hapus beberapa foto yang dianggap kurang layak, takut Memory Kameranya Over load, masih banyak yang harus di foto” teriak Zaen sambil meninggalkan mereka menuju kuade.
“beres kak….” Jawab Yugik,

Sepeninggalan Zaen, Anna langsung menuju Yugik
“Gik….foto yang barusan jangan di hapus….!!” Pinta Anna
“kenapa….hasilnya nggak bagus…”
“nggak papa, biarkan saja…”
“kayaknya ada maksud tertentu nich….??” Selidik yugik, membuat Anna merona.
“kita malu untuk menfoto Kak Zaen, sedangkan dia adalah teman karib Om Arman, yang jelas Om Arman juga senang jika diantara foto-foto itu ada sahabat-sahabatnya, pokoknya jangan dihapus, awas kalau dihapus” jawab Anna dengan lancar, walaupun dengan suara yang bergetar sambil meninggalkan Yugik yang juga berjalan ke tempat yang dianggapnya layak untuk dijadikan objek kameranya.
Ingin rasanya Anna membidikkan kamera yang dipegangnya pada sosok yang terus berlalu lalang mencari objek bagus untuk diabadikan dalam Handycamnya.

Setiap punya kesempatan ekor matanya selalu menangkap sosok itu, dia tambah kagun dengan penampilannya yang sederhana, dia tetap menggunakan sarung, pakayan putih dan tidak ketinggalan kopyah putih membuatnya tampak berkarisma sebagai penerus pesantren. walau mungkin menurut orang lain penampilan Zaen tidak menghormati acara resmi tersebut, namun dalam pandangan Anna hal itu malah mencerminkan sifat Zaen yang sederhana dan tetap mempertahankan citra ke Gus-annya.
Acara demi acara terus bergulir dengan hikmah, hingga kedua mempelai turun dari podium setelah semua tamu undangan meninggalkan acara.
Setelah semuanya rampung kini tinggal para Panitia untuk beramah tamah dengan menyantap hidangan, namun diantara para panitia yang berkumpul Anna tidak menemukan sosok yang sejak tadi memegang Handycam tersebut. Namun Anna malu untuk bertanya.

Setelah semuanya selesai, dia mendatangi Yogik yang mengecek hasil jepretannya.
“Kak Zaen ada di mana….?”
“nggak tau juga….sejak tadi aku mencarinya untuk memberikan tustel ini…..” jawab Yogik dengan terus memperhatikan layar kameranya. Anna pun masuk kedalam ingin menemui Istri Om-nya.

Ternyata Zaen ada di ruang tamu sedang bercanda dengan Om-nya yang sudah rubah pakaiyan sambil menggendong adek tirinya, entah kenapa langkahnya tertahan dan ingin kembali, ketika bertemu ada rasa malu yang timbul dalam hatinya.
“eh….An….mana Yogik..? tolong kamiranya dikumpulkan” sapa Zaen membuat Anna semakin malu, karena dia sudah akan melangkah keluar.
“oh….ya Kak tunggu sebentar..” jawabnya gerogi sambil terus keluar memanggil Yogik. Dan kembali kedalam mendatanginya.
“ingat Zaen…kiamat sudah dekat…cepat kau cari istri….” Singgung Omnya pada Zaen
“nggak tau lah man….!!! Masih belum laku juga…padahal udah dibawa kepasar” jawab Zaen sambil berkelakar, sedangkan Anna dan Yogik hanya mendengarkan perbincangan mereka sambil meletakkan kamera di atas meja hadapan mereka. Lalu meninggalkan dua sahabat yang sedang bergurau tersebut.
“Mbak An….main yuk….???” Tiba-tiba Selvi yang sejak tadi di gendong Zaen turun dan berlari kearah Anna, membuat Anna terkejut namun juga senang, karena Adek orang yang dicintainya mau bersamanya.
“tolong jaga adekku ya…?? Dan nanti tolong di kasih pada ibunya, karena mungkin aku langsung pulang” terang Zaen dan Anna hanya mengangguk, Anna membawa Selvi bermain tidak jauh dari mereka, hanya dibatas lemari saja, karena dia ingin mendengar perbincangan mereka. Mendengar suara Zaen saja sudah membuat jantungnya berdebar, walaupun perkataan Zaen bukan untukknya.
“kapan kau selesaikan Foto dan Videonya….?” Tanya Om Arman di ruang tamu
“kalau tidak ada halangan, lusa depan mungkin sudah rampung semua” Anna mendengar perbincangan itu. “lusa depan…? Kenapa bukan besok….!! Aku kan ingin melihat hasilnya juga”gerutu Hati Anna karena izin yang dia kantongi dari pondok pesantren hanya berlaku sampai besok sore.
“eh Zaen….!! Kalau kau masih belum punya calon, kenapa tidak dengan Anna saja” suara Arman sedikit berbisik mengharap Anna tidak mendengar, padahal bulu roma Anna merinding mendengar kata itu, dia tambah menajamkan pendengaran ingin tau jawaban Zaen.
“kau ini ada-ada saja….oke..aku pulang dulu, biar dokumentasi ini cepat selesai”
“ingat Zaen….jangan terlalu memilih dalam menentukan jodoh, entar malah tidak kawin-kawin….” Suara Arman semakin menjauh menandakan dia mengantarkan Zaen keluar rumah
“sesungguhnya saat ini udah ada wanita yang aku incar…doakan saja biar aku bisa nyusul kamu” terdengar Zaen masih menjawab dan hal itu membuat Hati Anna terkejut dan remuk,
“ternyata Kak Zaen sudah punya pilihan, lalu selama ini buat apa masih mengharapkannya…” Anna berjalan ke kamarnya dan meluapak selurh air mata kecewanya. Dia sudah lupa pada Selvi yang ditemaninya sejak tadi.
Di pondok dia berusaha untuk bisa menghilangkan fikiran tentang Zaen, bakan tidak ada lagi nama Zaen dalam doa-doanya. Dia berusaha untuk mulai berfikir logis tentang harapan pada awan yang tidak mungkin dia gapai, dia hanya menusia jelata yang hanya bisa berharap dan tidak mungkin bisa mengusahakan harapannya.
Orang tua mana yang tidak khawatir memikirkan anak gadisnya yang masih belum laku, dan dia telah sekian kali mengecawan orang tuanya dengan menolak orang-orang yang telah ditawarkan, dan penolakan itu berlandaskan harapan yang sekarang telah dia tau jawabannya. Yaitu, tidak mungkin.
Harapan semu dari seorang wanita yang hanya bisa berdoa dan meratap. Dia telah memutuskan untuk menerima saja jika ada lamaran yang akan datang, siapapun orangnya, jika menurut orang tuanya baik, tentu dia akan terima dengan baik pula, dan berusaha menumbuhkan kecintaan pada orang yang mungkin tidak dia kenal, namun dia tetap akan berusaha menjadi istri yang baik.

Minggu berlalu dan bulan terus berganti, ternyata bayangan tentang sosok wajah yang terus menjadi hantu sejak dulu tidak pernah sirna, ingin rasanya dia memiliki tambatan lain, atau setidaknya tunangan untuk dia alihkan rasa itu. Setiap orang tua datang mengirim, dia selalu berharap ada kabar baru tentang status, namun sepertinya orang tua masih berfikir tentang keegoisan dulu untuk tidak bertunangan karena ingin menyelesaikan pendidikan, ingin dia bicara bahwa prinsipnya dulu telah luntur dan dia siap untuk bertunangan atau kalau perlu menikah, bahkan sebelum Zaen menikah, karena dia akan lebih sakit jika melihat Zaen dengan wanita lain sedangkan dirinya masih bersetatus tidak jelas.

Di luar hari yang biasa, Om dan Istrinya datang mengirim, diapun dengan wajah ceria menyambut di ruang pertemuan santri putri.
“Tumben om datang tidak bersama ibu” sapa Anna sabil bersalaman pada mereka berdua
“Tantemu kan tidak pernah tau pondokmu, jadi mumpung punya kesempatan kami main saja kemari” jawabnya dengan menyerahkan bingkisan yang dibawa.
“sekarang kau sudah kelas Akhir kan ? bagaimana rencana selanjutnya…?” Tanya tante yang usianya lebih muda namun Anna sadar kalau Istri Omnya lebih dewasa
“nggak tau lah Tan, kalau orang tua mengizini aku masih ingin melanjutkan studi sampai perguruan tinggi”
“tapi kalau Om boleh usul, walaupun kau mau kulliah kau sudah bertunangan, jangan sampai menunggu sampai lulus, nggak bagus seorang wanita dewasa tidak ada yang menjaga”
“kok malah bicara masalah tunangan Om….??” Tanya Anna heran dan juga curiga melihat Om Arman melirik pada istrinya yang dijawab dengan anggukan,
“begini An, om tidak biasa berbelit-belit, ada orang yang melamar kamu melalui Om…” kata Omnya spontan membuat Anna terperanjak terkejut, walaupun dia sangat berharap untuk punya tunangan agar bisa melupakan Zaen, namun tidak mendadak seperti ini.
“Aku tau kau punya prinsip tidak akan bertunangan sampai lulus sekolah, namun apa salahnya aku mencoba, siapa tau kau sudah berubah pilihan, bagaimana An….??”
“bagaimana menurut bapak atau ibu…??” Tanya Anna
“aku masih tidak bicara dengan orang tuamu, karena orang yang berniat melamarmu meminta Om bertanya dulu padamu, jika kau mau, dia akan datang sendiri pada orang tuamu” ujar Omnya membuat Anna bingung, bagaimana dia akan memberikan keputusan, pada orang yang melamar saja dia tidak tau.
“Om tau pada orangnya”
“aku tau, bahkan aku yakin kalau kau tidak akan kecewa jika jadi dengannya” Om Arman begitu optimis, membuat Anna tersenyum kecut, bagaimana ada orang yang bisa menebak nasib orang lain.
“kalau saya, bagaimana baiknya saja pada keluarga” jawab Anna pelan.
“tapi dia tidak mau bertunangan lama-lama, dia bilang usianya sudah tua tidak mau masih mengulur waktu jika ada kesempatan untuk menikah” terang Omnya membuat Anna terkejut….
“tapi saya masih ingin kulliah Om” sanggah Anna
“diapun juga mengharap begitu, walau kau diperistri dia berhapa kau melanjutkan studi” Anna mulai berfikir kata-kata Omnya barusan, orang yang melamar ternyata baik juga, namun dia punya keyakinan kalau menikah sambil kulliyah, maka pendidikan akan terganngu.
“sepertinya saya tidak siap Om” jawab Anna tegas
“jangan langsung kau jawab begitu” kata tante yang sejak tadi diam
“pokoknya saya tidak mau….” Suara Anna meninggi, namun kemudian menunduk, sadar telah terbawa emosi
“baiklah kalau jawabanmu bulat begitu, tapi aku harap kau fikirkan dulu, dan ini ada salam darinya” Om Arman menyerahkan sebuah kado kecil seperti wadah Kapur tulis di kelas, ingin dia tolak, namun takut tambah mengecewakan Omnya,
“sudah sore…Om pulang dulu” pamit Om, dan Anna mengantar mereka berdua sampai di gerbang pondok putri, setelah Om dan istrinya tidak terlihat dia kembali kedalam untuk mandi, karena sebentar lagi jemaah Magrib akan dilaksanakan. kado itu diletakkkan di atas lemari, lalu berangkat ke kamar mandi berjubel dengan santri yang lain.
Dia jalani Aktifitas jemaah dan pengajian di mushollah dengan hikmat tanpa gangguan sedikitpun, bahkan kado yang dia letakkan di atas lemari dilupakan sebentar.

Habis solat isyak dengan doa panjang dia kembali ke kamar, dia lihat teman kamarnya berkumpul di tengah kamar memperhatiak sebuah benda, dan itu sudah biasa terjadi, jika ada teman lain memiliki barang baru akan dipamerkan pada teman yang lain, dia tidak selera untuk berkumpul dengan mereka dengan terus melipat mutenah dan memasukkan dalam lemari, dalam pandangan matanya ada yang janggal terasa, dia mulai berfikir….
“oh kadoku mana…..” teriak Anna spontan membuat teman-teman sama menoleh.
“yang kamu maksud ini ya….” Teriak mereka membuat Anna berhambur kekerumuan itu dan melihat kotak kayu berbusun seperti keranjang, hampir Anna menyanggah jika tidak belihat kertas kado yang dia lihat tadi menjadi alas kotak itu. Dengan sigap Anna mengambil dan membawa keluar.
Sesungguhnya tadi tidak ada ketertarikan untuk membuka kado itu, namun melihat isi yang unik membuatnya penasaran, dibawa kotak kayu itu ke ruang Osis yang mimang sepi pada jam seperti itu, Karena jam sekarang masih jam Makan, ketika jam delapan baru aktifitas kurikuler pesanteren akan berjalan normal.
Anna meletakkan kado itu di atas meja. Dan menatap dengan teliti.

Kemudian membuka kotak pertama paling atas, matanya langsung menangkap tiga buah benda yang cukup dia kenal berwarna merah, hijau dan kuning.
“inikan hanya batu yang di Cat….?” Gumam Anna berkerut sambil memungut batu itu, ternyata dibawahnya ada kertas terlipat. Diapun mengambil kertas yang menjadi alas itu. ternyata ada tulisan.
“selamat datang di tingkat pertama!
Ada kalanya batu tidak mempunyai arti apa-apa karena bentuk fisiknya kurang indah, berbeda dengan jenis batu berwarna cerah, malah memiliki nilai yang cukup melambung, contohlah Emas, Intan dan permata lainnya.
Namun apakah batu pualam memang tidak mempunyai kesempatan untuk dihargai….?
Padahal mereka juga sangat berarti
Tidak mungkin pondasi rumah sebagus apapun dibangun dengan batu emas dan permata, batu pualam lah yang sangat membantu pada saat itu.
Jika berfikir hal tersebut, Emas, intan dan permata hanya dibutuhkan oleh orang yang mampu saja, sedangkan batu pualam menjadi bagian manusia tanpa terkecuali.
Lalu sekarang kita ingin menjadi orang yang sangat berharga atau orang yang dihargai ?”
Anna mengerutkan dahi setelah membaca tulisan itu, mungkinkah ini karangan orang yang berniat melamarnya, atau dia ambil dari sebuah buku satra? Dan apakah tulisan itu bermaksud mengejeknya atau tanpa tujuan?
Anna semakin penasarab dengan isi kotak yang lain, dengan sigap dia buka lagi kotak kedua, didalamnya berisi bunga Mawar Asli yang sudah layu dan bunga mawar dari kain dan di bawahnyapun ada sobekan kertas.

Dia ambil kertas itu dan membukanya.
“selamat datang di tingkat kedua
Lihat perbedaan kedua bunga yang ada dihadapanmu, ketika ada yang bertanya itu apa? Orang yang belum pikun pasti akan menjawab sama, itu adalah bunga mawar…!! Namun apakah benar semua itu bunga mawar…?
Menurut Ilmu beologi, bunga adalah putik yang merekah tempat pertemuan sel jantan dan betina yang akan menghasilkan buah. Jadi bunga yang benar kamu sudah dapat menebaknya.

Sekarang lihat keduanya….mana yang tampak lebih indah….??” Seakan sudah dikomando oleh tulisan itu Anna melirik pada kedua bunga tersebut, walaupun tadi dia telah melihatnya
“jika tidak salah…kamu memilih bunga kain, dan tentu jika orang lainpun akan menjawab hal yang sama, karena itu sudah kodrat manusia selalu terkecoh oleh penampilan.
Banyak hal di dunia ini yang berusaha berkedok lebih baik, lebih bagus dari aslinya. Dan banyak juga yang telah terkecoh olehnya. Itu sudah kebiasaan manusia
Namun aku harap kamu tidak sembarangan memilih”

Pada surat yang kedua ada pesan yang khusus tidak seperti sebelumnya yang tanpa tujuan. Anna mulai menikmati setiap permainan kata surat-surat aneh itu. Dia tersenyum.
“pintar juga orang ini…” gumam Anna, sudah terbersit rasa kagum pada pembuat kado itu. Rasa penasaran untuk bisa melanjutkan surat-surat yang lain membuatnya terburu-buru untuk bisa membuka kotak yang terakhir, karena dia yakin didalamnya pasti ada benda dan surat lainnya.
“Arloji….??” Kotak yang ketiga berisi benda yang lumayan berguna tidak sama dengan kotak sebelumnya. Arloji mungil yang cukup cantik, namun dia mengabaikan Arloji itu, karena dia masih penasaran dengan isi surat yang ada dibawahnya. Dia berharap pada surat yang terakhir ini pasti tertera identitas pembuat kado itu
"selamat datang di tingkat ke tiga

Sebelum membahas tentang Arloji, aku akan bahas kotaknya dulu, kau tau kenapa tingkat pertama ada di atas dan tingkat ketiga ada di bawah, apakah aku begitu pikunnya memulai menghitung tingkat dari atas?
Tingkat di sini bukan seperti tingkat pada rumah susun, namun jenjang pangkat dari kategori isi dalam kotak. Batu (tanah) adalah benda paling berharga untuk bisa menumbuhkan bunga yang terus berkembang dan akhirnya bisa berbuah macam-macam, bukan hanya yang bergelayutan di pohon namun juga yang ada di kantor dan perumahan elit bahkan di bangku pendidikan sepertimu yang akhirnya akan menciptakan berbagai peralatan seperti Arloji itu
Arloji, aku tidak mau bertanya apa kau suka Arloji itu atau tidak,namun yang aku tanyakan kenapa ada hitungan Jam, Menit dan Detik, jika aku jabarkan sekarang tentu sangat panjang takut kau bosan untuk membacanya, aku akan bahas di pertemuan berikutnya.
Namun intinya, kehidupan ini berjalan seperti jarum jam yang berputar, angka 12 yang ada di atas bukalah lebih mulya dari angka 6 yang perkasa di bawah, semuanya sama. Sama saling menunggu dan saling memberi pada angka lainnya. Tidak ada perbedaan setiap kehormatan angka jam. Walaupun mereka berada di lokasi dan situasi yang tidak pernah sama.
Begitupun manusia, bentuk dan jenis apapun dia, hakikatnya sama, saling mengharap (menunggu) dan memberi pada lainnya.”
Tulisan itu berhenti di sana, membuat fikiran Anna mengambang untuk bisa menyelami setiap kata-kata itu. Begitu hebatnya sang penulis bisa membuat Anna yang sering juara kelas termangu oleh tulisan yang seakan tanpa Arah itu.

Anna sempat merasa tulisan itu dari guru gaib yang khusus turun padanya.
“katanya salam perkenalan, kok tidak ada perkenalan sama sekali” gerutu Anna setelah tersadar dari lambungan fikirannya. Diapun mulai menilik setiap benda yang berserakan di depannya, siapa tau orang itu mempunyai cara khusus untuk mengenalkan diri, seperti kadonya yang unik. Anna menyobek karpen alas terakhir, tiba-tiba ada kertas melanyang. Dia tidak menyangka jika masih ada sirat lainnya, Dengan sigap dia ambil dan membacanya
“selamat datang di surat terakhir
Jika kau temukan surat yang terakhir, berarti kau sudah penasaran dan aku punya harapan” tulisan pertama sudah membuatnya tersenyum
Pada bagian ini tidak ada benda pengandai, aku letakkan di paling dasar karena mimang dari dasar hatiku, dan aku harap setelah selesai membaca yang terakhir kau menemukan jawaban.
Usiaku sudah cukup berumur, sedangkan keluarga mengharap untuk secepatnya menikah, bahkan mereka mencarikanku jodoh. Seakan aku tidak pernah punya pilihan.
Aku punya pilihan sendiri, tapi pilihan itu ada di tanganmu.
Aku adalah batu pualam yang tidak ada harganya jika tidak kau butuhkan, aku adalah bunga layu yang masih mempertahankan keasliannya, dan aku adalah jam yang terus berputar dalam harapan.

Zaen Rosyadi
Seketika tubuh Anna menggigil, bulu romanya merinding dan badannya hampir roboh melihat nama yang tertera di akhir surat.

Dirangkulnya semua benda yang bererakan di depannya dicium sambil menangis dengan terus berpuji sukur kepada Allah.
“Kak Zaen….walau kau hanya meyelipkan nama disuratmu, aku juga akan menangis seperti ini” gumam Anna sambil terus menangis.
“Ada apa An…….!!!??” Fatma terkejut ketika masuk keruang OSIS yang disangka sepi, ternyata ada Anna yang menangis sejadi-jadinya. Anna bangkit dan merangkul Fatma, menumpahkan air mata di bahu fatma
“ada musibah apa An…..??” Tanya Fatma kebingungan melihat orang yang selalu ceria itu menangis dan juga mendapati beberapa benda yang berserakan di meja.
Keesokan harinya dia langsung menelfon orang tua untuk datang ke pondok, dia ingin menyampaikan langsung pada mereka, kalau hanya Om Arman yang tau bahwa seratus persen dia mau niat Zaen, ketika Zaen datang kerumah dia takut orang tuanya menolak dengan alasan jawaban Anna akan sama seperti biasa.
Sepanjang hari Anna sangat cemas menunggu kedatangan orang tuanya yang berjanji sore hari, dia takut jawabannya akan lambat, Zaen keburu menerima tawaran keluarganya, maka dia akan menjadi orang yang sangat menyesal.

Sore hari orang tuanya benar-benar datang disambutnya dengan ceria, malah membuat orang tuanya heran, karena sepanjang perjalanan mereka tegang, tidak biasa anak putrinya memaksa mereka datang.
“ada apa An…membuat kami khawatir saja” Tanya ayahnya

Dengan tanpa menunggu lagi Anna menceritakan tentang kedatangan Om Arman dan Istrinya serta tujuan mereka.
“bagaimana menurut bapak dan ibu” Tanya Anna begitu antusias membuat orang tuanya merasa heran, karena sikap Anna sangat lain dengan biasa jika bicara masalah perjodohan.
“kalau menurut bapak, ini merupakan anugerah, sangat jarang mencari sosok seperti Zaen”
“tapi semua keputusan ada ditangamu” kata ibunya memancing, walaupun sesungguhnya dia tau jawaban yang akan muncul, dengan melihat sikap Anna, Anna malah menunduk malu
“kami sudah tau jawabanmu, kau kan masih ingin menyelesaikan pendidikan dulu…” tambah ibunya sambil tersenyum pada suaminya yang mengernyitkan dahi tidak faham
“tapi sebentar lagi Anna sudah lulus….!!” Bantah Anna semangat.
“katanya kau masih ingin melanjutkan kulliyah” timpal ayahnya setelah mengerti semua permainan istrinya
“Kak Zaen berjaji tetap menyekolahkaku walau sudah menikah” suara Anna bergetar ingin menangis, mengetahui orang tuanya tidak setuju. Matanya sudah lembab berair
“kok malah mau menangis….!!” Kata ibunya sambil memeluk Anak tertua yang banyak membuat mereka bangga dalam prestasi
“kayaknya tidak cocok Zaen denganmu….” Tambah ayahnya, membuat air mata Anna benar-benar tumpah, dia berusaha menahan tangis dengan menggigit bibir bawahnya.
“sudah lah Pak, kasihan Anna” rajut sang ibu membuat Bapak Anna tertawa
“kau memang selalu membuat kami bangga” kata bapanya, membuat Anna heran dan mengangkat wajahnya.
“sejak tadi kami sudah tau jawabanmu, dan kami sangat bersyukur jika kau terima lamaran Zaen” terang ibunya
“jadi….bapak ibu setuju Kak Zaen melamar Anna…??” Tanya Anna terperanjak, dan kemudian memeluk ibunya setelah ada Anggukan dari mereka.

Tuhan bukan tidak mendengar doa-doanya dulu, dan juga bukan terlambat mengabulkan doa malam Anna, malah tuhan mengabulkan doa itu diwaktu yang sungguh sangat tidak terkira dan dengan cara yang sangat spektakuler.
Keluarga Zaen meminta untuk mengawinkan mereka secepatnya setelah Anna menyelesaikan masa pendidikannya di pondok yang tinggal setelah tahun. Dan dengan berkonsultasi dengan Anna, sang ayah mengabulkan permintaan itu.

Sungguh tidak terkira karunia tuhan yang begitu besar, Anna sadar, ini hanya setitik dari sekian kebahagiaan yang telah diberikan tuhan padanya, maka tidak pantas kalau lantaran ini saja syukurnya begitu melimpah, dia harus terus bersyukur dengan semua karunia yang telah dia dapat. Walaupun selama bertunangan Zaen tidak pernah menjenguknya ke pesantren namun dia tau Zaen sangat mencintainya dan cinta itu murni meresap dalam setiap doa panjang agar mereka diberi kekuatan dan ketabahan serta kesiapan dalam menempuh semua tanggung jawab dan cobaan yang akan mereka hadapi kelak.
Bahkan Foto saja tidak saling mereka miliki, mereka berkeinginan menjaga cinta yang telah dianugerahkan tuhan sebagaimana mestinya tanpa harus ditambahi bumbu yang akhirnya malah membuat mereka bosan. Biarlah cinta itu berembang dalam mayapada, setiap kesendirian adalah benih tumbuhnya cinta mereka yang semakin meluap.

Anna ingin Zaen selalu bangga padanya, dia terus belajar untuk bisa mencapai prestasi agar Zaen yang terkenal sebagai Guru segala bidang tidak malu mempersuntingnya, dan dia juga ingin membuktikan bahwa dia pantas mendampingi Zaen. Mendampingi hingga di akherat kelak.
Pernikahan cukup sederhana, hanya dihadiri oleh keluarga dan famili kedua mempelai tanpa ada acara hura-hura, namun bagi Anna, itu adalah acara yang sangat meriah dibanding segala macam acara yang pernah diikutinya. Bahkan segala jenis hiburan yang pernah ada tidak sedikitpun bisa menyaingi keindahan senyum Zaen yang menyambutnya dengan halal.
 
SUMBER: http://www.cerpen.me/2012/12/karunia-tidak-terkira-cerpen-cinta.html

CERPEN

CINTAKU BERLABUH DI MESIR
Karya Irna Octarina
Narina masih saja sibuk dengan komputernya, ia tengah melengkapi data-data yang harus ia bawa ke Mesir. Pikirannya masih kacau balau, ibunya bersikukuh untuk tidak mengijinkannya pergi ke Mesir.
Ditengah kesibukannya, Ibu Nafisah memanggil anaknya,
“Narina ayo keluar dari kamarmu, sekarang sudah waktunya makan siang. Sudah sejak tadi pagi kau tidak keluar kamar.”

Dengan setengah berlari ia pun keluar kamar, jilbabnya yang anggun membuat ia terlihat lebih cantik, “Ia bu, tunggu sebentar.” Ia segera duduk dan bersiap untuk makan, sebelum makan ia mencuci tangannya terlebih dahulu.
“Ayah mana bu? Kok dia gak makan bareng kita?”
“Ayahmu sedang keluar sebentar, ngga lama lagi ayahmu juga pulang nak.”
“ Oh ya bu, rencananya minggu depan aku akan berangkat ke Mesir. Semua data-data yang aku butuhkan sudah hampir selesai…
Belum selesai bicara, ibunya langsung memotong ucapan anaknya, “ Sudah berapa kali ibu bilang, ibu tak akan pernah mengijinkan kamu untuk pergi ke Mesir. Buat apa sih nak kamu kuliah jauh-jauh disana? Di Jakarta kan juga banyak Universitas Islam yang bagus,”
“Tapi bu kesempatan untuk kuliah disana hanya sekali,” tanpa sadar air matanya pun menetes.
Memang berat bila ia harus berpisah dengan ibunya, terlebih lagi ia akan berada di Mesir selama kurang lebih empat tahun dan belum tentu ia dapat pulang setiap tahun untuk menemui ibunya. Kepergiannya ke Mesir untuk melanjutkan pendidikannya, ia mendapatkan beasiswa di Al Azhar University Cairo. Sejak kecil ia selalu bermimpi untuk pergi ke Mesir dan melihat betapa indahnya Sungai Nil, dan impiannya kini sudah ada di depan mata.
“Tolong ijinkan aku bu, aku hanya beberapa tahun saja disana, aku akan selalu memberi kabar pada ibu. Aku tak akan pernah lupa pada ibu yang sangat aku sayangi,”
“Apapun alasanmu tetap saja ibu tak rela bila harus hidup sendirian tanpamu nak, ibu sangat menyayangimu. Ibu tak ingin kehilangan anak semata wayang ibu, huhuhu (ibunya pun ikut menangis).

Ayahnya pun masuk segera masuk ke dalam rumah ketika ia mendengar suara tangisan yang terdengar dari teras rumah.
“Kenapa kalian berdua menangis?” Tanya sang ayah kebingungan.
“Ibu tetap tidak mengijinkanku untuk berangkat ke Mesir ayah, aku sudah tidak tau harus bagaimana lagi.”
“Sudahlah bu biarkan anakmu memilih jalan hidupnya, ia sudah dewasa dan ayah yakin kalau ia bisa menjaga dirinya baik-baik.”
“Iya bu, benar apa kata ayah. Aku yakin bisa menjaga diri disana, di Mesir aku juga tidak sendiri. Aku ditemani Hikami dan Amalia, mereka juga kuliah disana,”
“Huh yasudahlah terserah kalian … tapi jika terjadi apa-apa pada Narina, ayah yang akan ibu salahkan.”
Akhirnya Ibu Nafisah mengijinkan kepergian anaknya ke Mesir. Memang berat melepaskan anak semata wayangnya untuk hidup mandiri di Mesir. Ia sangat menyayangi Narina dan kemana saja Narina pergi selalu ditemani ibunya. Wajah mereka pun sangat mirip, bahkan terkadang ada orang yang mengira bahwa mereka adalah kakak beradik. Perbedaan umur diantara mereka juga tidak berbeda jauh, ibunya baru berusia 37 tahun dan anaknya 20 tahun lebih muda dari usianya kini.
***

Tibalah hari yang ia tunggu-tunggu, hari ini adalah hari keberangkatannya ke Mesir. Ia memasukkan semua perlengkapan pribadinya ke dalam koper birunya. Tak lupa ia membawa Novel Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2 karangan Habiburrahman El Shirazy, ia sangat menyukai novel itu. Baginya begitu banyak ilmu yang ia dapatkan dari novel itu. Setelah selesai menyiapkan perlengkapannya, ia langsung mengambil air wudhu untuk Salat Dhuha. Ia masih punya waktu setengah jam lagi sebelum berangkat ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Sebelum berangkat ia menyempatkan diri untuk menelpon kedua temannya, Hikami dan Amalia, ia ingin memastikan bahwa kedua temannya sudah siap untuk berangkat ke Mesir. Setelah itu tak lupa ia berpamitan kepada kedua orang tuanya,
Narina pun berangkat, tak lupa ia mencium tangan kedua orang tuanya. Baru beberapa langkah berjalan, ia lalu memalingkan tubuhnya dan kembali untuk memeluk ibunya. Tak terasa air matanya mengalir membasahi jilbab biru mudanya, ia begitu sedih harus berpisah untuk sementara waktu dengan ibunya tapi di sisi lain ia juga tak bisa menyia-nyiakan kesempatan untuk kuliah di Mesir.

Sudah lima jam ia berada di dalam pesawat, perjalannya masih sekitar tujuh jam lagi tetapi ia belum bisa tertidur. Padahal Amalia sudah tertidur pulas, sedangkan Hikami masih saja fokus dengan bukunya. Anak yang satu ini memang suka sekali membaca buku, baginya waktu terasa hambar bila ia tak membaca buku. Narina lalu memutuskan untuk memasang headset dan memutar sebuah lagu favoritnya,

Bertuturlah cinta
Mengucap satu nama
Seindah goresan sabdamu dalam kitabku
Cinta yang bertasbih
Mengutus hati ini
Kusandarkan hidup dan matiku padamu
Bisikkan doaku dalam butiran tasbih
Kupanjatkan pintaku padamu Maha Cinta
Sudah diubun-ubun cinta mengusik resah
Tak bisa kupaksa walau hatiku menjerit
Ketika cinta bertasbih nadiku berdenyut merdu
Kembang kempis dadaku merangkai butir cinta
Garis tangan tergambar tak bisa aku menentang
Sujud syukur pada-Mu atas segala cinta

Akhirnya ia pun tertidur dalam bait-bait lagu Ketika Cinta Bertasbih, sejurus kemudian ia sudah tiba di Mesir. Hikami membangunkan kedua temannya, sejak tadi pagi Hikami belum memejamkan mata sehingga wajahnya terlihat agak pucat. Mereka pun segera turun dari pesawat dan menuju rumah yang telah disewa oleh Amalia. Kebetulan salah satu kerabat dari Amalia ada yang tinggal di Mesir dan rumah itu sudah tidak ditempati lagi. Wajah Narina tampak begitu bahagia ketika menapakkan kakinya di Mesir, ia seolah tak percaya.
Setelah tiba di rumah, tak lupa Narina memberi kabar pada orang tuanya di Indonesia. Mereka bertiga langsung membersihkan rumah dan beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Ada dua kamar, satu kamar untuk Narina dan yang satunya lagi untuk Hikami dan Amalia. Mereka begitu kelelahan, tetapi Narina memutuskan keluar sebentar untuk mencari makanan. Narina melihat pemandangan di sekelilingnya, begitu banyak wanita bercadar disana. Lalu ia berhenti sejenak ketika ada rumah makan yang menjual makanan asli Indonesia. Ia memperhatikan semua menu yang tersedia, tampaknya ia agak sedikit bingung harus memesan apa. Akhirnya ia memutuskan untuk membeli 3 bungkus nasi, rendang, sayur nangka, dan es teh. Semuanya dibungkus untuk ia makan bersama kedua temannya. Saat ia ingin keluar, ia hampir bertabrakan dengan seorang lelaki yang sepertinya orang Indonesia juga.
“Maaf maaf, saya sedang terburu-buru.” Ujar lelaki itu dengan nafas yang terengah-engah.
“Iya ngga apa-apa”, sepintas ia terpesona oleh lelaki itu. Wajahnya yang terlihat lelah seperti orang yang tidak tidur semalaman tapi aura yang dipancarkannya begitu memikat bagi siapapun yang melihatnya.
Ternyata kedua temannya sudah bangun dan tengah menonton tv di rumah.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,” jawab kedua temannya hampir bersamaan. “Dari mana kamu Na?”
“Ini aku beli makanan, aku tau pasti kalian laper banget,’’ tanpa disuruh Amalia langsung mengambil piring dan gelas. Ia sudah tidak bisa lagi menahan rasa laparnya. Dan lusa adalah hari pertama mereka kuliah, kebetulan Amalia mengambil jurusan yang sama dengan Narina, yakni jurusan Sejarah dan Peradaban Islam sedangkan Hikami mengambil jurusan Perbandingan Agama.
“Ternyata Al-Azhar gede benget ya, duh ga nyesel deh kuliah disini. Meskipun aku ga dapet beasiswa seperti kalian, tapi aku seneng bisa satu universitas sama kalian.” Kata Amalia. Kebetulan Narina tidak sekelas dengan Amalia, maka ia mencari kelasnya sendiri. Saat ia sedang kebingungan mencari kelasnya, lalu ada seorang lelaki yang menghampirinya, “Lagi bingung nyari kelas ya? Tanya lelaki itu,

Seketika itu juga Narina kaget bukan kepalang, ternyata lelaki yang waktu itu pernah membuatnya terpesona kini ada di hadapannya. Dengan sedikit gugup ia menjawab pertanyaan lelaki tadi, “Ia, dan saya mahasiswa baru disini,” Lalu mereka saling berkenalan, lelaki itu bernama Andi Hanif Rahman. Ternyata Andi juga kuliah di Al-Azhar dan berada dalam jurusan yang sama, tetapi Andi satu tingkat diatas Narina. Ada sedikit rasa senang di hatinya saat ia tau siapa nama lelaki itu, ia merasa apakah ia sedang jatuh cinta atau tidak.
***

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan. Tak terasa ia sudah tiga tahun di Mesir, rasanya sudah begitu lama ia tak bertemu dengan ibunya. Rasa rindunya sudah tak tertahankan lagi, terkadang ia menangis dalam sujudnya di malam hari. Pemandangan sungai nil yang begitu indah, membuatnya semakin sedih. Seandainya saja saat ini ada sang ibu yang menemaninya, pasti kebahagiaannya di Mesir akan lengkap sudah. Butir demi butir air matanya menetes, hembusan angin merasuk ke dalam tubuh dan jiwanya. Tanpa sadar ternyata ada seorang lelaki yang berdiri di sampingnya, ia pun segera mengusap air matanya dengan tisu yang ada di sakunya.
“Kuperhatikan sejak tadi, mengapa kau menangis? Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu,” Tanya Andi.
Dengan suara serak ia pun membuka suara,”Aku rindu pada ibuku, sudah 3 tahun aku tak bertemu dengannya, oh ya kenapa ka Andi bisa ada disini?”
‘’Hehe sebenarnya aku mengikutimu sejak kau pulang kuliah, kelihatannya kau sangat sedih dan begitu terburu-buru,”
“Ah, mana mungkin kakak ngikutin aku. Hehe kakak ini ada-ada aja,” akhirnya ia pun sudah mulai bisa tersenyum. “Kakak masih inget ngga waktu kita ketemu di rumah makan? Tepatnya tiga tahun yang lalu,”
“Ya iyalah, kakak inget banget malah. Kakak kan suka sama kamu sejak kita ketemu waktu itu…”

Wajah Narina terlihat memerah, sepertinya ia malu dan tidak tau harus berkata apa. Mereka diam sejenak, tak ada yang berani untuk membuka suara. Narina malah pulang ke rumahnya, Andi hendak mengejarnya tapi ia tak punya keberanian. Sebenarnya Andi tak berniat untuk mengatakan itu pada Narina, tapi kata-kata itu keluar seketika dari mulutnya. Ia memang jatuh hati pada Narina sejak pertama kali ia bertemu. Waktu itu ia hampir telat untuk masuk kerja jadi ia terburu-buru dan hampir menabrak Narina. Sejak saat itu ia penasaran dengan sosok gadis itu, sampai akhirnya ia bertemu lagi dengan Narina di Universitas Al-Azhar. Ia semakin sering memperhatikan Narina saat gadis itu berada di kampus, tetapi Narina tak pernah menyadarinya. Baginya, Narina adalah sosok yang sederhana, lemah lembut dan ia bagaikan bunga yang bermekaran di musim semi. Narina cukup terkenal di kampusnya, ia adalah mahasiswi yang cerdas. Ia pun aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus.

Setibanya di rumah, Narina langsung masuk ke dalam kamarnya dan menangis hingga sesenggukan. Kedua temannya langsung menghampiri Narina, lalu Narina menceritakan apa yang ia alami hari ini kepada kedua temannya. Termasuk awal mula pertemuannya dengan Andi dan perasaan yang ia pendam pada Andi.
“Ya ampun Narina, kenapa kamu gak bilang ke Andi kalo kamu juga suka sama dia? Jelas-jelas kalian kan saling cinta,” tutur Lia,
“Tapi aku ga mau kalo kak Andi suka sama aku,”
Hikami dan Amalia langsung saling berpandangan, mereka bingung mengapa Narina bersikap seperti itu.” Aku itu ga mau kalo nantinya aku malah pacaran sama kak Andi, aku takut kalo kuliah aku jadi terganggu. Disini aku tinggal satu tahun lagi, aku pengen pulang ke Indonesia dengan gelar sarjana terbaik jadi aku gak pengen ngerusak impian aku itu dengan pacaran,” ungkap Narina.
Dengan spontannya, Lia langsung megeluarkan idenya, “ Emm gimana kalo kamu nikah aja? Kak Andi juga udah lulus, kan ga ada larangan menikah buat mahasiswa.”
Saran dari Lia hanya membuatnya semakin bingung, akhirnya ia memutuskan untuk menjauhi Andi selama beberapa waktu. Ia butuh waktu untuk memikirkan masa depannya itu.
***

Sudah hampir sepuluh bulan Narina tidak bertemu dengan Andi, ada rasa rindu yang terbersit dalam hatinya tapi ia memilih untuk menahan rasa rindunya itu. Padahal Andi selalu berusaha untuk menemuinya, tapi ia selalu menolak. Ada saja alasan yang dibuat oleh Narina, padahal Andi telah membulatkan tekadnya untuk melamar Narina.
Dan sepuluh bulan setelah kelulusannya, usaha yang Andi rintis semakin maju. Setelah menyelesaikan kuliahnya, ia mencoba bisnis berbagai macam pakaian muslim secara online dan omset yang ia dapatkan sangat memuaskan. Mungkin cukup untuk biaya pernikahannya kelak, tapi belum ada jodoh yang tepat untuknya. Padahal banyak gadis yang menyukainya tapi entah mengapa ia selalu menolaknya. Hanya Narina yang selalu ada di pikirannya, ia yakin suatu saat nanti ia bisa mempersunting gadis pujaannya itu. Ia bertekad untuk selalu menunggu Narina, sampai gadis itu mau menerima ia sebagai suaminya.

Tak terasa, hari kelulusan itu telah tiba dan Narina dinobatkan sebagai mahasiswa terbaik di kampusnya. Betapa bahagia dan terharunya dia, ia pun tak sabar untuk kembali ke tanah air dan bertemu dengan kedua orang tuanya. Ia pun memutuskan untuk segera pulang ke Indonesia bersama Amalia. Sementara Hikami memilih untuk melanjutkan S2 nya, meskipun ada sedikit rasa sedih karena ia harus berpisah dengan kedua temannya tapi ia mencoba untuk tetap tegar karena ia memang bercita-cita untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Narina pun pulang tanpa sempat memberi kabar kepada Andi, karena ia sudah terburu-buru.
Dua belas jam di pesawat, membuatnya kelelahan. Tapi setibanya di rumah, seolah rasa lelah itu hilang sudah. Ia langsung memeluk kedua orang tuanya dan menangis di pundak ibunya. Mereka saling melepas rindu, lalu sang ibu bertanya pada Narina, “Ibu bangga sama kamu nak, kamu bisa memberikan yang terbaik. Lalu bagaimana dengan jodohmu nak, apakah kau sudah menemukan jodoh yang tepat di Mesir?”

Seketika itu juga Narina merasa seolah tubuhnya bak tersiram air panas, ia teringat dengan Andi. Ia tidak sempat menemui Andi, bagaimana nasib andi sekarang, semua itu hanya terbenak dalam pikirannya.
“Ditanya ko malah diem?”, ucap ibunya.

Ia mulai membuka suara, dengan terbata-bata ia menceritakan pada ibunya bahwa ia sudah menemukan lelaki yang ia dambakan tapi ia malah menjauhinya.
“Yasudah nak gak apa-apa, kalo jodoh gak akan kemana,”
Lalu ia masuk kedalam kamar, ia masih memikirkan Andi. Bagaimana Andi sekarang, sudah hampir setahun ia menjauhi Andi. Apakah Andi masih menyukainya,
***

Ibu Nafisah ingin sekali ke Mesir, maka sang Ayah mengajak istri dan anaknya untuk berlibur di Mesir selama beberapa pekan. Di sisi lain, Andi masih terus mencari Narina. Setelah Narina lulus, ia tak pernah memberi kabar pada Andi tapi tetap saja Andi setia menunggu Narina.
Saat Narina hendak berkunjung ke rumah Hikami, ia bertemu dengan Andi. Ingin rasanya ia memeluk Andi untuk menghilangkan rasa rindunya selama ini tapi ia tak bisa. Mereka berdua menangis dan saling bertatapan, Andi tak menyangka penantiannya selama ini membuahkan hasil.
“Narina aku sangat menyayangimu, selama ini aku selalu menunggumu tapi kau tak pernah ada kabar. Aku tak ingin bila harus kehilanganmu lagi, maka maukah kau menikah denganku?”

Narina pun tak bisa menjawab, ia merasa sangat terharu. Inilah saat-saat yang selalu ia tunggu. “Huhuhu aku juga sayang sama kakak, kalau begitu temui orang tuaku dan nikahi aku.”
“Baiklah kalau begitu, akan kusuruh teman-temanku untuk memanggil penghulu dan surat-surat pernikahan akan diurus secepatnya,”
Sesampainya di hotel, Andi langsung meminta ijin pada orang tua Narina untuk menikahi anaknya nanti malam ba’da Isya dan orang tua Narina menyetujuinya.
Setelah azan isya berkumandang, semua teman-teman Narina dan Andi yang berada di Mesir ikut datang untuk menyaksikan prosesi akad nikah mereka. Narina terlihat begitu cantik dengan pakaiannya yang serba putih, Andi juga terlihat tampan. Akad nikah mereka cukup sederhana.

Narina begitu bahagia, kini ia telah menemukan cinta sejatinya. Ia pun sempat meneteskan air mata saat Andi berkata,” Saya terima nikah dan kawinnya Narina Najmatunnisa binti Husein dengan seperangkat alat solat dibayar tunai.”
Semua hadirin pun turut berbahagia, akhirnya cinta Narina Najmatunnisa dan Andi Hanif Rahman berlabuh di Mesir.
 
SUMBER: http://www.cerpen.me/2012/11/cerpen-cinta-islami-cintaku-berlabuh-di.html
 

Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah

Di sebuah pemukiman yang padat penduduk tingallah seorang gadis yang biasa di panggil dengan namanya yang artinya mata air syurga yaitu salsabila. Dia dibesarkan oleh paman dan bibinya yang tidak mempunyai anak dan dari keluarga yang biasa-biasa saja. Aktivitasnya sehari-hari sebagai tenaga pengajar honorer di sebuah sekolah swasta islam di samping itu dia juga mengajar anak-anak mengaji dirumahnya. Selain itu juga dia aktif pada majlis muda mudi sampai suatu waktu dia menemukan pendamping hidupnya dari majlis itu. Salsabila sangat dingin dengan lawan jenisnya sehingga dia tidak pernah yang namanya berpacaran karna dia tahu apa resikonya orang berpacaran dan dia tidak mau menanggung resiko itu yang tidak jauh dari yang namanya sakit hati dan lain sebagainya. Sebelum dia mengetahui memang didalam syar’I tidak ada yang istilahnya pacaran. Sehingga dia pun yakin akan Robbnya kalau jodoh itu akan datang dengan sendirinya jika memang sudah waktunya.
           Disamping berusaha dan berdo’a mengharap jodoh yang soleh,sabar,ta’at dll. Allah SWT pun mengabulkan do’anya. Tidak lama kemudian salsabila pun menemukan jodohnya dan menikahlah dia dengan seorang pemuda yang belum lama dikenalkan oleh teman salsabila di majlis tersebut. Pemuda itu bernama miftahul mukhtar. Miftah sudah tidak mempunyai kedua orang tua diusia yang relatif muda. Dia anak bungsu dari 11 bersaudara. Miftah sudah berniat untuk menikah dikarenakan usia yang sudah cukup untuk menikah.          Tetapi ada suatu kendala, dia memberanikan diri untuk menikah walaupun belum ada persiapan apa2 sebelumnya. Karena memang belum ada rencana dan hanya niat saja. Kalau kita ingin berniat baik karna Allah, InsyaAllah, Allah  pun akan menolong kita. Dan kalau sudah kehendaknya semua berjalan dengan mudah. Akhirnya perikahan itupun berlangsung selang beberapa bulan saja perkenalan meskipun sempat ada pertentangan dari keluarga miftah. Tetapi tidak ada yang bisa menghalangi kehendak Allah SWT. Proses perkenalan pun dengan cara berta’aruf. Miftah pun tidak pernah yang namanya berpacaran. Di awal pertemuan mereka, mereka mengakui memang tidak ada rasa pun. Tetapi ntah mengapa smua berjalan begitu saja. Dan akhirnya pun mereka menikah. Sempat terkaget-kaget teman-teman dari salsabila maupun miftah. Tiba-tiba mereka menyebar undangan pernikahan.
             Disinilah Allah menunjukkan kekuasaannya. Bahwa jodoh,rizki dan maut itu tidak dapat dikira dan secara tiba-tiba. Dan menjadi rahasia Illahi pula. Setelah menikah pintu rizki terbuka, diangkatlah miftah menjadi pegawai tetap di sebuah perusahaan swasta yang sebelumnya sudah 7 tahun menjadi tenaga kerja kontrak. Dan bisa membangun rumah sederhana dari bonus yang ia dapatkan dari tempat bekerjanya karna dia adalah pegawai yang teladan yang rajin dan ulet dalam bekerja. Selang beberapa bulan salsabila pun hamil. Di masa kehamilannya salsabila pun beristirahat dari rutinitasnya sehari-hari. Di dalam keluarga baru yang penuh dengan ketenangan kebahagiaan dan kasih saying. Karena seorang suami yang  bijak dan seorang istri yang  sabar.
             Bulan-bulan telah terlewati hingga sampai pada waktuya Sembilan bulan lebih 1 hari salsabil pun melahirkan bayi laki-laki yang di harapkan akan menjadi seorang mujahid. Lengkaplah kebahagiaan mereka, tetapi Allah SWT memberikan cobaan buat keluarga mereka. 2 tahun kemuadian salsabila hamil. Tetapi diusia kehamilan 3 bulan keluarga mereka mendapat musibah. Salsabil terpeleset didalam kamar mandi sehingga menyebabkan keguguran. Disinilah awal mula ujian itu datang. Setelah kembali pulih salsabil kmbali hamil. Karna ingin mempunyai keturunan yang banyak. Tetapi lagi-lagi hamil.lagi-lagi keguguran. 3x berturut-turut hamil dan keguguran salsabil pun sakit yang berkepanjangan.
            Meskipun telah mendapat cobaan yang bertubi2 keluarga mereka tetap bersabar. 3 tahun sudah salsabil dalam pembaringan. Tidak bisa melayani suami baik lahir maupun batin. Dan membesarkan anak satu-satunya. Miftah sangat sabar dalam merawat istrinya. Dia tetap merawat dan menafkahi istrinya meskipun dia tidak mendapatkan haknya sebagai suami selama 3 tahun belakangan ini. Dia bersabar dengan apa yang Allah SWT tetapkan baginya. Merawat istri dan anaknya karna mereka adalah tiitipan Allah SWT yang harus dijaga dan disayangi. Tahun demi tahun hari demi hari sakit salsabil semakin memburuk. Melihat ketabahan dan kesabaran suaminya, salsabil berpesan kepada suaminya untuk menikah lagi. 

            Salsabil berkata : “ abi…… abi adalah suami yang Allah SWT kirimkan untuk ummi, abi  begitu tabah dan kuat selama 3 tahun ini merawat ummi tanpa mendapatkan hak abi, sudah sa’atnya abi mencari pengganti ummi. Yang solehah, yang bisa menerima abi dan menjadi ibu buat anak kita. Sakit ku tak kunjung sembuh abi… tapi biarkan aku tetap menjadi istrimu sampai akhir hayatku. Untuk saat ini, pulangkan aku kepada orang tuaku karna aku sudah tidak bisa melayanimu. Tetapi ummi minta abi ridho kalau ummi sudah dipanggil oleh yang maha kuasa. Dan ummi menanti abi di syurga-Nya… 

            miftah pun menjawab : “ ummi……  abi ikhlas dengan apa yang Allah tetapkan kepada keluarga kita. Kenapa ummi berkata seperti itu. 

            Salsabil :” ia abi aku sangat ridho, dan jangan tunggu sampai aku meninggalkan dunia ini. Aku ingin melihat abi bahagia untuk yang terakhir kalinya. (sambil tersenyum).

           Miftah :”baiklah ummi kalau memang itu yang ummi harapkan. Abi akan penuhi keinginan ummi meskipun abi belum siap mencari pengganti ummi. (sambil meneteskan air mata)

            Salsabila : ” janaganlah menangis abi, aku bahagia aku akan menemui Robbku. abi, bersegeralah, karna ntah kapan malaikat akan mencabut nyawaku.

            Selang beberapa hari miftah minta dicarikan kepada temannya. Tak lama kemudian dipertemukan dengan seorang janda beranak 1. yang ditinggal mati suaminya. kebetulan keduanya pun cocok karna keduanya sudah mengalami mengarungi bahtera rumah tangga. Pernikahan pun dilangsungkan dihadapan salsabila dan anaknya dan saksi-saksi lain dari keluarganya. Semua berjalan baik tenang dan lancar. walimahanpun diadakan seadanya karna keadaan yan tidak memungkinkan. Satu hari setelah pernikahan salsabila pun dipanggil oleh yang maha kuasa. Wajahnya putih berseri dikarenakan cintanya kepada Robb nya tumbuh dari hikmah sakit yang dialaminya selama 3 tahun. Menikah karna Allah dan laki-laki yang agamanya kuat yang menjadi pilihan hidupnya sehingga sampai akhir hayatnyapun bahagia wajahnya putih berseri dan tersenyum manis.
            Hikmah yang dapat dipetik dari kisah diatas, bahwa jodoh rizki dan maut semuanya menjadi Rahasia Illahi. Jadi jangan bimbang bila jodoh tak kunjung datang. Oleh karna itu yakinlah hanya kepada Allah SWT. Bukan kepada paranormal yang bisa meramal nasib. Astrologi dan lain-lain yang berbau mistik. Banyak berdo’a dan berusahalah dengan menikah pintu rizki akan terbuka. Dan jangan takut tidak punya pacar susah akan mendapat pasangan. Itu rayuan syeton laknatullah a’laih yang ingin menyesatkan muda mudi di jaman sekarang ini agar  mendekati zinah. Dan jangan sampai salah memilih jodoh. Pilihnya karna agamanya, insyaallah laki-laki yang paham agama yang bisa menjadi panutan dan pembimbing kejalan yang Allah SWT ridhoi. Amin
 
SUMBER: http://wwwceritapendekislami.blogspot.co.id/

PAGI BENING

MINGGU tersenyum. Pagi yang bening. Langit menebarkan jubah putih. Seperti gigi-gigi macan yang mati tertumbak. Angin lelap. Debu melesap. Terik. Jemuran sekejap kering. Bau asap menyergap.

Kau termangu di depan layar kotak kecil itu. Ah, apa yang kausaksikan dari dunia-kecil dan kedil itu? Tangan-tangan memanjang. Merengkuh dua atau tiga benua. Disatukan ke dalam pelukan. Muntah. Mesiu menebar. O, ada tangis. Luka. Anak-anak menatap masalalu-masadepan. Kosong. Di pecahan tembok. Mengintip moncong senapan. Menguping deru tank. Mengangguk-angguk: “satu lagi, seratus lagi. Korban jatuh…”

Penjagal. Algojo bertangan mulus. Putih. Hidung mancung. Tanpan. Tangannya menjangkau. Menjabat seluruh dunia. Menabur pundi-pundi uang. Dermawan kau… Ah, tidak. Kau pemangsa. Nyawa melayang. Melesat bagai meteor. Tubuh-tubuh kemudian jadi kaku.

Sudah berapa kematian di sini? Aroma ganja menebar. Asap mengepul, kita hirup bersama-sama. Aku, kau, kalian, mereka, dan kita semua mabuk. Ply ply…Bawa kemari rencong-rencong itu. Akan kukibarkan sebagai bendera. Akan kutancapkan ke perut-perut para serdadu.

Ah, tidak. Rencong akan selalu kalah cepat dengan senapan. Mereka—para serdadu itu—tak berbilang jumlahnya. Sedangkan kami? Berapalah orang, berapalah kampung? Sekali dibombardir, habislah kami. Tetapi, kenapa kami tak pernah habis-habis?

“Tuhan selalu bersama kami. Melindungi anak-anak kami, perempuan-perempuan kami, nyawa kami, kampung kami, tanah-kelahiran kami. Ganja-ganja kami, kebun-kebun kami. Rencong kami selalu bergairah untuk melawan!”

Dusta! Manalah mungkin kalian bisa melawan. Lihatlah para serdadu, tak berbilang jumlahnya, seia dan setia setiap saat untuk memuntahkan peluru-pelurunya. Cuma belum waktunya kalian dihabisi. Masih perlu strategi, mengulur-ulur waktu, sampai kalian terlelap dalam kegembiraan. Setelah itu habislah seluruh kalian, tak bersisa. Juga cinta kalian pada tanah dan air kelahiran ini.

“Bukankah hidup hanya menunda kematian1? Lebih tak berharga jika menyelesaikan hidup ini dengan sia-sia, tiada berharga. Maka itu, kami mesti berjuang untuk mempertahankan tanah kelahiran ini. Betapa pun kami mesti berkalang tanah. Sudah habis kesabaran kami ketika kalian datang kemari lalu membawa seluruh kekayaan kami. Yang tinggal di sini untuk kami cuma ampas, taik minyak, ladang-ladang yang kerontang…”

Adakah itu keadilan? Kami yang telah berabad-abad menjaga, menyuburkan, dan menyulingnya. Tetapi, hasilnya kalian bawa. Kalian yang bergelimang harta, kami yang berkalang luka.

Ke mana dan kepada siapa kami mengadu? Sedang angin tak pernah mengirim kabar nestapa kami. Ke mana dan kepada siapa kami harus melabuhkan duka? Sedang pelabuhan tak membukakan pintunya? Ke mana dan kepada siapa kami akan menurunkan sauh? Sedang pantai tiada lagi.

Ya!
Siapa yang pecahkan vas bunga
di pekarangan rumah kita
Padahal angin tidak menggerakkan daun-daunnya2

*
MINGGU tersenyum. Pagi yang bening. Langit menebarkan jubah putih. Seperti gigi-gigi macan yang mati tertumbak. Angin lelap. Debu melesap. Terik. Jemuran sekejap kering. Bau asap menyergap.

Kami bayangkan, minggu-minggu di sini akan selalu tersenyum. Tertawa bagi kebahagiaan kami, bagi kedamaian kami, bagi kemerdekaan kami. Tetapi, yang terjadi, ketakutan demi ketakutan menerpa kami. Mau seperti selalu mengintip sela kami. Selangkangan kami tak henti basah. Airmata kami tak habis-habis mengalir.

Suara dentuman itu. Suara peringatan itu. Suara ancaman itu. O! Telah membuat kami semakin ketakutan. Oh, tidak! Kami tak pernah takut, bahkan kepada singa yang buas sekali pun. Ketakutan kami hanya kepada Tuhan, pada amarah agama kami, jika kami mengabaikan anjuran jihad-Nya.

Aku bayangkan tak lagi kudengar
Derap sepatu juga aum serdadu3

Tetapi, mungkinkah itu? Para serdadu itu kini sudah membanjiri kota-kota kami, kampung-kampung kami, dusun-dusun kami, rumah-rumah penduduk kami. Mereka tak saja mengancam, menembaki, juga menggagahi perempuan-perempuan kami.

Alangkah nistanya jika kami membiarkan kebiadaban itu. Alangkah terkutuknya sepanjang masa jika kami tak melawan. Maka kami angkat senjata pula. Kami acung-acungkan rencong-rencong kami dan menusukkan ke perut mereka.

Perlawanan tak seimbang memang. Tetapi, apakah kami rela teraniaya selamanya? Mana yang lebih berharga menjadi orang terjajah sepanjang masa atau mati dalam arena perlawanan?

Hidup hanya sekali. Darah akan tetap berwarna merah meski kami kalah. Maka berjihad menjadi ukuran perlawanan orang-orang teraniaya seperti kami. Apa kami akan selalu disetir, dikomandoi, diintimidasi oleh satu kekuatan yang zalim?

Teringat kami pada perjuangan sang Muhammad. Ia begitu gigih, tak pernah mati strategi dan semangat menegakkan perdamaian. Apa kami harus lupa pada ghirah suci seperti itu? Tak. Tiada akan pernah.

Ini tanah air kami. Ini kampung kelahiran kami. Tiada yang bisa mengusir kami dari tanah tumpah darah kelahiran kami. Sungai itu telah menampung air tuba kami. Tanah ini yang telah menanam ari-ari kami. Ranjang ini yang membiarkan basah oleh darah kelahiran kami. Ibu kami yang bersakit-sakit menjaga kelahiran kami.

Wahai saudara kami. Kita bersaudara. Maka turunkan senjatamu. Kunci pelatuk senapanmu. Beningkan airmuka amarahmu. Mari kita berpelukan. Tetapi, biarkan kami menjaga tanah kelahiran kami. Pulanglah saudaraku ke tanah kelahiranmu, ke barak-barakmu, yakinlah kami bisa mengolah segala yang ada di kampung kami.

“Bukankah kau tahu, bumi ini diciptakan bukan untuk menampung pertumpahan darah? Kita ada karena kita dipercaya sebagai khalifah bagi perdamaian semesta, rahmat bagi dunia dan akhirat?” katamu satu malam.

Kami akan bakar pohon-pohon ganja. Kami tanam bom-bom kami di ladang-ladang tak bertuan. Tak akan ia meledakkan kota-kota yang riuh. Hotel-hotel yang gemuruh. Tiada. Sebab jangan kaumengira kami yang meledakkan bom di keramaian itu, di candi-candi itu, di tempat-tempat hiburan itu. Bukan. Kami punya adab yang mesti kami jaga sebagai kehormatan.

Tetapi, selalu saja dan selalu saja, wajah-wajah kami yang tertera di media-media pemberitaan. Dalam sketsa-sketsa: rekayasa orang-orang yang membenci kami.

Dusta apa ini yang tengah kalian sebarkan untuk kami? Fitnah apa yang tengah kalian rancang untuk mengubur karakter kami? Dan, memang, sebagaimana diingatkan Tuhan kami bahwa “kalian tak akan pernah bosan sampai kami mengikuti milah kalian”. Demikianlah, kalian coba berbagai cara untuk menghancurkan kami. Kemudian kami kalah, kami mengikuti kehendak kalian.

Tetapi Cahaya kami tak akan pernah redup. Bulan-bintang akan selalu menebarkan sinar-Nya setiap malam. Matahari akan selalu terbit dari dalam jiwa kami, dan akan tenggelam di batin kalian.

Maka, inilah perjuangan kami. Perlawanan kami. Pengorbanan kami. Jihad kami. Betapa pun di antara kami mesti ada yang syahid sebagai syuhada. Sebab, kami yakin, seribu kami akan terus berlahiran.

Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan tanah dan langit ini.

Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan tanah dan langit ini.

Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan tanah dan langit ini.

Seperti Muhammad yang menyatukan Timur-Barat-Selatan-Utara. Dari tanah Arab hingga ke Eropa dan Amerika: semesta.

*

JUMAT tersenyum. Padang yang terbentang. Kami tafakurkan jiwa kami, kami zikirkan seluruh hidup-mati kami. Dari sini kami harus memulai menegakkan kembali tiang-tiang keyakinan kami yang nyaris porak oleh dusta dan fitnah kalian.

“Selamat berjuang,” katamu bersemangat.

“Selamat berjihad,” katamu yang lain tak kalah ghirah-nya.


SUMBER: http://dunia-cerpen.blogspot.co.id/2007/09/pagi-bening.html

Kamis, 22 Oktober 2015

PERSAHABATAN

KADO TERAKHIR UNTUK SAHABAT
Karya Nurul Alma Febriyanti
Lima hari sebelum kawanku pindah jauh disana. Selepas makan siang, aku langsung kembali beranjak ketempat aku bermain dengan sahabatku.
“hei, kemana saja kamu? Daritadi aku nungguin” Tanya sahabatku yang bernama Alvi. “tadi aku makan siang dulu” jawabku sambil menahan perut yang penuh dengan makan siang “ah ya sudah, ayo kita lanjutkan saja mainnya” sahut Alvi. Tidak lama saat aku & Alvi sedang asyik bermain congklak, Rafid adiknya Alvi datang menghampiri kami berdua.
“kak, aku pengen bilang” kata Rafid “bilang apa?” sahut Alvi penasaran “kata bapak, sebentar lagi kita pindahan” jawab Rafid “hah? Pindah kemana?” tanyaku memotong pembicaraan mereka “ke Bengkulu” jawab Rafid dengan singkatnya “ya udah kak, ayo disuruh pulang sama ibu buat makan siang dulu” ajak Rafid ke Alvi “iya deh.. ehm.. Alma, aku pulang dulu ya aku mau makan siang” ujar Alvi “eh, iya deh aku juga mau pulang kalau gitu” sahutku tak mau kalah.

Sesampainya dirumah aku langsung masuk kedalam kamar & entah kenapa perkataan Rafid yang belum pasti tersebut, terlintas kembali ke pikiranku. “Andai perkataan tersebut benar, tak terbayang bagaimana perasaanku nanti” ujarku pada cermin yang menatapku datar “sudahlah daripada aku memikirkan yang belum pasti lebih baik aku mendengarkan musik saja” ujarku kembali sambil beranjak mengambil mp3. Tak lama kemudian aku mendengar sebuah pembicaraan, yang aku tau suaranya sudah tak asing lagi bagiku yaitu orang tuaku & orang tua Alvi sahabatku. Aku mencoba mendekati pintu kamar untuk mendengarkan pembicaraan itu. Tak lama tanganku keringat dingin, aku sudah mendapatkan inti pembicaraan ternyata benar apa yang dikatakan Rafid pada Alvi tadi siang bahwa mereka akan pindah kurang lebih sebulan lagi.

Lemas sudah tubuhku setelah mendengar kabar itu, tiba-tiba ibu mengetuk kamarku & mengagetkanku yang sedang bingung itu. *Tok3X… “Alma, kamu mengunci pintu kamarmu ya” Tanya ibu sambil mencoba membuka pintu “enggak kok” jawabku dengan lemasnya “kamu kenapa.. ayoo buka kamarmu!!” teriak ibu “iya.. sebentar” sahutku sambil membuka pintu.
“ngapain kamu mengunci kamar?” Tanya ibu.
“gak knapa2… tadi aku memang lg duduk didepan pintu” jawabku sambil menoleh keruang tamu yang berhadapan dengan kamar tidurku.
“ya sudah, tadi orang tuanya Alvi bilang kalau mereka ingin pindah bulan depan”
“iya, aku sudah tau” sahutku kembali ke kamar tidur.
“oh kamu tidak sedih kan?” Tanya ibu yang menghampiriku.
“…” tak kujawab pertanyaan ibu.
“hm.. sudahlah tak usah dibahas dulu.. sana tidur siang dulu biar nanti malam bisa mengerjakan PR” ujar ibu sembari mengelus elus rambutku.
“iya…” jawabku singkat.

Esoknya tepat dihari Minggu, matahari pagi menyambutku. Suara ayam berkokok dan jam beker menjadi satu. Tetapi, aku tetap saja masih ingin ditempat tidur. Sampai sampai ibuku memaksaku untyk tidak bermalas malasan.
“Alma, ayoo bangun.. perempuan gak baik bangun kesiangan” ujar ibu sambil melipat selimutku. “sebentar dulu lah.. aku masih ngantuk” sahutku sambil menarik selimut ditangan ibu. “itu Alvi ngajak kamu main.. ayoo bangun!!” ujar ibu kembali sambil mengeleng gelengkan kepala. “oh oke oke” sahutku semangat karena ingat bahwa Alvi akan pindah sebulan lagi. Lalu, aku langsung beranjak dan segera lari keluar kamar tidur untuk mandi & sarapan. Setelah itu Alvi tiba-tiba menghampiri rumahku
“Assalamualaikum, Alma!!” panggil Alvi dari depan rumah.
“walaikumsallam, iya!!” sahut ibuku yang beranjak keluar rumah.
“oh ibunya Alma, ada Alma nya gak?” Tanya Alvi.
“Alma nya lagi sarapan, sebentar ya tunggu dulu aja. Sini masuk” jawab ibuku.
“iya, terimakasih” sahut Alvi.

Ketika aku sedang asyik asyiknya sarapan, Alvi mengagetkanku.
“Alma, makan terus kau ini” ujar Alvi sambil tertawa. “yee, ngagetin saja kamu ini. Aku laper tau” sahutku sambil melanjutkan sarapan. “kok gak bagi-bagi aku sih” Tanya Alvi sambil menyengir kuda. “kamu mau, nih aku ambilin ya” jawabku sambil mengambil piring. “hahaha.. tidak, aku sudah makan, kau saja sana gendut” sahut Alvi sambil tertawa terbahak bahak. “ ya sudah” jawabku kembali sambil membuang muka. Tak berapa lama kemudian, sarapanku habis lalu Alvi mengajakku bermain games.
“sudah kan, ayoo main sekarang” ajak Alvi semangat.
“aduh, sebentar dong. Perutku penuh sekali ini” sahutku lemas karena kebanyakan makan.
“ah ayolah, makanya jangan makan banyak-banyak. Kalau gitu kapan mau dietnya” ujar Alvi menyindirku.
“ya sudah ya sudah.. ayoo mau main apa?” ajakku masih malas.
“Vietcong yuk tempur tempuran” jawab Alvi semangat seperti pahlawan jaman dulu.
“hah, okedeh” sahutku sambil menyalakan laptop milik ayah.

Kemudian, aku dan Alvi bermain games kesukaan kami berdua. Kami bermain bergantian, besar besaran skor, dll tidak berapa lama ibunya Alvi memanggilnya untuk pulang. “Assalamualaikum, ada Alvinya gak?” Tanya ibunya Alvi sambil tersenyum denganku. “ada-ada.. Alvi! ibumu mencarimu” kataku kepada Alvi yang sedang asyik bermain. “iya.. sebentar lagi, emangnya kenapa?” Tanya Alvi. “aku tidak tau, sana kamu pulang dulu. Kasian ibumu” ujarku sambil mematikan permainan. “huh… iya iya” sahut Alvi beranjak pulang kerumahnya.

Tak berapa lama, Alvi mengagetkanku saat aku sedang asyik melanjutkan permainan yang sedang aku mainkan. “Alma!!” panggil Alvi sambil menepuk pundakku. “Apa??” jawabku kaget. “aku pengen bilang sesuatu nih, hentikan dulu mainannya” ujar Alvi. “iya!!” jawabku agak kesal. “jadi gini.. dengarkan ya… ternyata aku akan pindah 3 hari lagi” cerita Alvi. “hah? Kok dipercepat??” sahutku memotong pembicaraan Alvi. “aku juga tidak tau, kau sudah memotong pembicaraanku saja. Sudah ya aku harus pulang ini.. bye!” ujar Alvi beranjak keluar rumah. “tunggu!! Kau serius??” tanyaku dengan penuh ketidak percayaan. “serius.. dua rius malahan” jawab Alvi sambil memakai sandal. “oh ok.. bye!!” sahutku kembali. Setelah Alvi pulang kerumahnya, aku langsung lari masuk kedalam kamar & mengunci diri. Aku tidak tau apa yang harus kulakukan sedangkan sahabatku sendiri ingin pindahan. Terlintas dipikiranku untuk memberikan Alvi sahabatku sebuah kado yang mungkin isinya bisa membuat Alvi mengingat persahabatan antara kita selamanya walaupun sampai akhir hayat nanti kita tak akan dipertemukan lagi. Ku ambil buku diary & kutuliskan cerita-cerita persahabatanku dengan Alvi. Tak lama kemudian , terpikirkan suatu hadiah yang akan kukasih dihari dia pindahan nanti lalu, aku ambil uang simpanan yang kusimpan didompetku & ku piker-pikir uangnya cukup untuk membelikan hadiah untuk Alvi.

Besoknya sehabis pulang sekolah, aku langsung berlari ke toko sepatu dekat rumahku. Ku lihat-lihat sepatu yang cukup menarik perhatianku, tiba-tiba ada seorang bapak-bapak yang menghampiriku.
“hai nak, kamu mencari sepatu apa?” Tanya seorang bapak yang menurutku adalah pemilik took sepatu tersebut.
“i..iya pak, maaf ada sepatu futsal tidak?” tanyaku sambil celingak celinguk kesegala rak sepatu.
“oh, ada kok banyak.. untuk apa? Kok perempuan nyari sepatu futsal?” Tanya pemilik sepatu itu sambil tertawa melihatku yang masih polos.
“bukan untukku pak, tapi untuk sahabatku” jawabku dengan polosnya.
“teman yang baik ya, memangnya temanmu mau ulang tahun?” Tanya pemilik toko itu. Entah kapan pemilik toko itu berhenti bertanyaku.
“iya” jawabku berbohong karena tak mau ditanya-tanya lagi.
“ok, sebentar ya. Bapak ambilkan dulu sepatu yang bagus untuk sahabatmu” ujar pemilik toko sepatu itu sambil berjalan ke sebuah rak sepatu.
“sip, pak” sahutku.

Tak lama, si pemilik toko sepatu itu kembali sambil membawa sepasang sepatu futsal.
“ini nak!!” kata pemilik toko sepatu itu.
“wah bagus sekali, berapa pak harganya?” tanyaku sambil melihat lihat sepatu yang dibawa oleh si pemilik toko itu.
“bapak kasih murah nak untukmu.. ini aslinya Rp. 60.000 jadi kamu bayar Rp.20.000 saja nak” jawab si pemilik toko itu sambil tersenyum.
“terima kasih banyak pak, ini uangnya” sahutku.
“iya nak, sama-sama” ujar sipemilik toko tersebut.
Setelah itu, aku kembali kerumah & mulai membungkus kado untuk Alvi. Mungkin ini hadiahya tidak seberapa, kutuliskan juga surat untuk Alvi.
Malamnya aku masih memikirkan betapa sedihnya perasaanku nanti jika sahabatku pindah pasti tidak bisa bermain bersama lagi seketika air mataku menetes & tiba-tiba ibu mengetuk pintuku. “Alma, ayo kerjakan dulu PRmu nanti kemalaman” ujar Ibu dari depan pintu kamar tidurku. “i..iya” sahutku sambil mengelap tetesan air mata yang membasahi buku yang sedang aku baca. Saat itu pikiranku masih campur aduk entah harus senang, sedih atau apa. Aku tidak bias konsen mengerjakan PR malam itu.

Besoknya disekolah, aku sering bengong sendiri sampai-sampai guruku bertanya kenapa aku seperti itu. Ku jawab saja dengan jawaban yang sangat singkat karena aku sedang memkikirkan bahwa besok lah dimana aku akan berpisah dengan sahabatku sendiri. Sepulang sekolah, aku langsung berlari memasuki kamar lagi, mengurung diri hingga malam. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahku & kuintip lewat jendela kamar. Tak lama kemudian juga Ibu memanggilku untuk keluar kamar sebentar.
“Alma, ayoo keluar sebentar. Ada Alvi nih” ajak ibu sambil membuka pintu kamarku.
“iya…” jawabku beranjak keluar kamar.
“nah kamu sudah disini, jadi begini besok kan Alvi mau pindah ayoo berpamitan dulu” ujar ibuku.
“Alma!!” peluk ibunya Alvi kepadaku. “maafin tante sama Alvi beserta keluarga ya jika punya salah sama kamu, ini tante ada sesuatu buat kamu” kata ibunya Alvi sambil memberiku sekotak coklat.
“i..i..iya” sahutku tak bisa menahan perasaan & sejenak kuingat bahwa aku juga punya hadiah untuk Alvi.
“Alvi, ini ada hadiah buat kamu. Terima ya” ujarku mulai menangis.
“iya. Alma jangan nangis dong” jawab Alvi.
“aku..” sahutku semakin sedih.
“sudah kamu tidak usah sedih nanti suatu saat kalian bisa ketemu kembali kok, ibu yakin” kata ibu sambil menghapus air mataku.
“ya udah, Alma jangan nangis ya… oh iya ini tante kasih no telp. Tante biar nanti kalau Alma kangen sama Alvi bisa sms atau telepon ya” ujar ibunya Alvi sambil menghapus air matanya pula yang hendak menetes.
“iya..” jawabku sambil masih menangis.
Malam pun tiba, Alvi dan keluarganya pun berpamit & harus segera pulang. Aku pun kembali ke tempat tidur & mulai menangis. Ku gigit bantal yang ada didekatku tak tahan aku melihat hal tadi.

Esoknya, tepat dipagi hari. Suara mobil kijang mengagetkanku & bergegas aku keluar. Ku lihat Alvi & keluarganya sudah bersiap-siap untuk berangkat, tubuhku mulai lemas ibu pun mengagetkanku untuk segera bersiap siap sekolah. Sebenarnya aku ingin tidak sekolah dulu hari itu tapi bagaimana juga pendidikan yang utama. Aku bergegas kesekolah tapi sebelum itu, aku berpamitan dengan Alvi lagi.
“Alvi!!” panggilku dari jauh.
“Alma!!” jawabnya sambil mendekatiku.
“jaga dirimu baik baik disana ya kawan, semoga banyak teman-teman barumu disana & jangan lupakan aku” ujarku mulai meneteskan air mata.
“iya, kamu tenang. Kalau kamu sedih kepergianku ini tidak akan nyaman” sahutnya sambil memberiku tissue.
“iya… terima kasih” jawabku kembali sambil menghapus airmata dengan tissue yang diberikan oleh Alvi.
“oh iya Alma, thanks ya buat kadonya itu bagus banget… aku juga udah baca suratnya… terima kasih banyak ya… akan kujaga terus kado mu” ujar Alvi menatapku.
“iya.. sama-sama karena mungkin itu kado terakhirku untukmu kawan” sahutku sambil tersenyum tak menunjukkan kesedihan lagi.
“kau memang sahabat terbaikku selamanya” kata-kata terakhir Alvi yang ia ucapkan kepadaku. Disitulah aku berpisah & disitulah aku harus menempuh hidup baru, juga makna dari sebuah persahabatan tanpa menilai kekurangan seorang sahabat.

~Selesai~

Sumber: http://eposlima.blogspot.co.id/2013/03/cerpen-persahabatan-kado-terakhir-untuk.html