MINGGU tersenyum. Pagi yang bening. Langit menebarkan jubah putih.
Seperti gigi-gigi macan yang mati tertumbak. Angin lelap. Debu melesap.
Terik. Jemuran sekejap kering. Bau asap menyergap.
Kau termangu
di depan layar kotak kecil itu. Ah, apa yang kausaksikan dari
dunia-kecil dan kedil itu? Tangan-tangan memanjang. Merengkuh dua atau
tiga benua. Disatukan ke dalam pelukan. Muntah. Mesiu menebar. O, ada
tangis. Luka. Anak-anak menatap masalalu-masadepan. Kosong. Di pecahan
tembok. Mengintip moncong senapan. Menguping deru tank.
Mengangguk-angguk: “satu lagi, seratus lagi. Korban jatuh…â€
Penjagal. Algojo bertangan mulus. Putih. Hidung mancung. Tanpan. Tangannya menjangkau. Menjabat seluruh dunia. Menabur
pundi-pundi uang. Dermawan kau… Ah, tidak. Kau pemangsa. Nyawa
melayang. Melesat bagai meteor. Tubuh-tubuh kemudian jadi kaku.
Sudah
berapa kematian di sini? Aroma ganja menebar. Asap mengepul, kita hirup
bersama-sama. Aku, kau, kalian, mereka, dan kita semua mabuk. Ply
ply…Bawa kemari rencong-rencong itu. Akan kukibarkan sebagai bendera.
Akan kutancapkan ke perut-perut para serdadu.
Ah, tidak. Rencong
akan selalu kalah cepat dengan senapan. Mereka—para serdadu itu—tak
berbilang jumlahnya. Sedangkan kami? Berapalah orang, berapalah kampung?
Sekali dibombardir, habislah kami. Tetapi, kenapa kami tak pernah
habis-habis?
“Tuhan selalu bersama kami. Melindungi anak-anak
kami, perempuan-perempuan kami, nyawa kami, kampung kami,
tanah-kelahiran kami. Ganja-ganja kami, kebun-kebun kami. Rencong kami
selalu bergairah untuk melawan!â€
Dusta! Manalah mungkin kalian
bisa melawan. Lihatlah para serdadu, tak berbilang jumlahnya, seia dan
setia setiap saat untuk memuntahkan peluru-pelurunya. Cuma belum
waktunya kalian dihabisi. Masih perlu strategi, mengulur-ulur waktu,
sampai kalian terlelap dalam kegembiraan. Setelah itu habislah seluruh
kalian, tak bersisa. Juga cinta kalian pada tanah dan air kelahiran ini.
“Bukankah
hidup hanya menunda kematian1? Lebih tak berharga jika menyelesaikan
hidup ini dengan sia-sia, tiada berharga. Maka itu, kami mesti berjuang
untuk mempertahankan tanah kelahiran ini. Betapa pun kami mesti
berkalang tanah. Sudah habis kesabaran kami ketika kalian datang kemari
lalu membawa seluruh kekayaan kami. Yang tinggal di sini untuk kami cuma
ampas, taik minyak, ladang-ladang yang kerontang…â€
Adakah
itu keadilan? Kami yang telah berabad-abad menjaga, menyuburkan, dan
menyulingnya. Tetapi, hasilnya kalian bawa. Kalian yang bergelimang
harta, kami yang berkalang luka.
Ke mana dan kepada siapa kami
mengadu? Sedang angin tak pernah mengirim kabar nestapa kami. Ke mana
dan kepada siapa kami harus melabuhkan duka? Sedang pelabuhan tak
membukakan pintunya? Ke mana dan kepada siapa kami akan menurunkan sauh?
Sedang pantai tiada lagi.
Ya!
Siapa yang pecahkan vas bunga
di pekarangan rumah kita
Padahal angin tidak menggerakkan daun-daunnya2
*
MINGGU
tersenyum. Pagi yang bening. Langit menebarkan jubah putih. Seperti
gigi-gigi macan yang mati tertumbak. Angin lelap. Debu melesap. Terik.
Jemuran sekejap kering. Bau asap menyergap.
Kami bayangkan,
minggu-minggu di sini akan selalu tersenyum. Tertawa bagi kebahagiaan
kami, bagi kedamaian kami, bagi kemerdekaan kami. Tetapi, yang terjadi,
ketakutan demi ketakutan menerpa kami. Mau seperti selalu mengintip sela
kami. Selangkangan kami tak henti basah. Airmata kami tak habis-habis
mengalir.
Suara dentuman itu. Suara peringatan itu. Suara ancaman
itu. O! Telah membuat kami semakin ketakutan. Oh, tidak! Kami tak
pernah takut, bahkan kepada singa yang buas sekali pun. Ketakutan kami
hanya kepada Tuhan, pada amarah agama kami, jika kami mengabaikan
anjuran jihad-Nya.
Aku bayangkan tak lagi kudengar
Derap sepatu juga aum serdadu3
Tetapi,
mungkinkah itu? Para serdadu itu kini sudah membanjiri kota-kota kami,
kampung-kampung kami, dusun-dusun kami, rumah-rumah penduduk kami.
Mereka tak saja mengancam, menembaki, juga menggagahi
perempuan-perempuan kami.
Alangkah nistanya jika kami membiarkan
kebiadaban itu. Alangkah terkutuknya sepanjang masa jika kami tak
melawan. Maka kami angkat senjata pula. Kami acung-acungkan
rencong-rencong kami dan menusukkan ke perut mereka.
Perlawanan
tak seimbang memang. Tetapi, apakah kami rela teraniaya selamanya? Mana
yang lebih berharga menjadi orang terjajah sepanjang masa atau mati
dalam arena perlawanan?
Hidup hanya sekali. Darah akan tetap
berwarna merah meski kami kalah. Maka berjihad menjadi ukuran perlawanan
orang-orang teraniaya seperti kami. Apa kami akan selalu disetir,
dikomandoi, diintimidasi oleh satu kekuatan yang zalim?
Teringat
kami pada perjuangan sang Muhammad. Ia begitu gigih, tak pernah mati
strategi dan semangat menegakkan perdamaian. Apa kami harus lupa pada
ghirah suci seperti itu? Tak. Tiada akan pernah.
Ini tanah air
kami. Ini kampung kelahiran kami. Tiada yang bisa mengusir kami dari
tanah tumpah darah kelahiran kami. Sungai itu telah menampung air tuba
kami. Tanah ini yang telah menanam ari-ari kami. Ranjang ini yang
membiarkan basah oleh darah kelahiran kami. Ibu kami yang bersakit-sakit
menjaga kelahiran kami.
Wahai saudara kami. Kita bersaudara.
Maka turunkan senjatamu. Kunci pelatuk senapanmu. Beningkan airmuka
amarahmu. Mari kita berpelukan. Tetapi, biarkan kami menjaga tanah
kelahiran kami. Pulanglah saudaraku ke tanah kelahiranmu, ke
barak-barakmu, yakinlah kami bisa mengolah segala yang ada di kampung
kami.
“Bukankah kau tahu, bumi ini diciptakan bukan untuk
menampung pertumpahan darah? Kita ada karena kita dipercaya sebagai
khalifah bagi perdamaian semesta, rahmat bagi dunia dan akhirat?â€
katamu satu malam.
Kami akan bakar pohon-pohon ganja. Kami tanam
bom-bom kami di ladang-ladang tak bertuan. Tak akan ia meledakkan
kota-kota yang riuh. Hotel-hotel yang gemuruh. Tiada. Sebab jangan
kaumengira kami yang meledakkan bom di keramaian itu, di candi-candi
itu, di tempat-tempat hiburan itu. Bukan. Kami punya adab yang mesti
kami jaga sebagai kehormatan.
Tetapi, selalu saja dan selalu
saja, wajah-wajah kami yang tertera di media-media pemberitaan. Dalam
sketsa-sketsa: rekayasa orang-orang yang membenci kami.
Dusta apa
ini yang tengah kalian sebarkan untuk kami? Fitnah apa yang tengah
kalian rancang untuk mengubur karakter kami? Dan, memang, sebagaimana
diingatkan Tuhan kami bahwa “kalian tak akan pernah bosan sampai kami
mengikuti milah kalianâ€. Demikianlah, kalian coba berbagai cara untuk
menghancurkan kami. Kemudian kami kalah, kami mengikuti kehendak kalian.
Tetapi
Cahaya kami tak akan pernah redup. Bulan-bintang akan selalu menebarkan
sinar-Nya setiap malam. Matahari akan selalu terbit dari dalam jiwa
kami, dan akan tenggelam di batin kalian.
Maka, inilah perjuangan
kami. Perlawanan kami. Pengorbanan kami. Jihad kami. Betapa pun di
antara kami mesti ada yang syahid sebagai syuhada. Sebab, kami yakin,
seribu kami akan terus berlahiran.
Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan tanah dan langit ini.
Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan tanah dan langit ini.
Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan tanah dan langit ini.
Seperti Muhammad yang menyatukan Timur-Barat-Selatan-Utara. Dari tanah Arab hingga ke Eropa dan Amerika: semesta.
*
JUMAT
tersenyum. Padang yang terbentang. Kami tafakurkan jiwa kami, kami
zikirkan seluruh hidup-mati kami. Dari sini kami harus memulai
menegakkan kembali tiang-tiang keyakinan kami yang nyaris porak oleh
dusta dan fitnah kalian.
“Selamat berjuang,†katamu bersemangat.
“Selamat berjihad,†katamu yang lain tak kalah ghirah-nya.
SUMBER: http://dunia-cerpen.blogspot.co.id/2007/09/pagi-bening.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar